3 Penyebab Utama Resesi Menurut Bank Dunia
Akhir-akhir ini kita sering kali
mendapat cuitan berita perihal resesi yang terjadi di berbagai belahan dunia
yang baru ini terjadi adalah negara Srilanka. Namun bagiamanakah sebenarnya
resiko Indonesia akan bencana resesi tersebut? dalam tulisan
ini mari kita bahas bahwa risiko perambatan resesi ke Indonesia bisa terjadi
melalui dua jalur.
 |
resesi |
Pertama jalur
keuangan, kedua non keuangan. Risiko terjadinya resesi di jalur keuangan dan
perbankan tidak dapat lepas dari kinerja sektor riil baik investasi maupun
ekspor. Pertumbuhan investasi yang terwakili PMTB tercatat terus melambat dalam
empat quartal terakhir hingga hanya menyentuh level 5,44 persen per quartal
kedua 2022. Dari sisi ekspor, pertumbuhan ekspor masih dalam tren perlambatan
yang dimulai sejak tahun 2016. Namun, pertumbuhan ekspor sepanjang semester ke
dua 2022 tercatat positif sebesar 35.42 persen (yoy). Akibatnya, neraca
perdagangan Indonesia juga masih menorehkan defisit hingga US$ 194,60 pada
periode yang sama.
Berkaitan dengan resesi Bank Dunia sempat menyampaikan indikasi-indikasi
resesi melalui laporannya yang berjudul “Global Economic Risk and Implication
for Indonesia” pada 2019. Namun indikasi tersebut
juga digunakan untuk ekonomi secara global.
Pertama, gejala resesi
yang disebabkan pasar obligasi pemerintah AS. Dalam sejarah resesi di AS
umumnya dimulai dengan simtom kurva yield berbalik (inverted yield curve) atas
surat utang AS bertenor 2 tahun dan 10 tahun. Artinya, yield obligasi
pemerintah AS bertenor jangka panjang (10 tahun) justru lebih kecil
dibandingkan yield obligasi jangka pendek (2 tahun).
Kedua,
mesin ekonomi di kawasan Uni Eropa menunjukkan tren pelemahan. Pertumbuhan
ekonomi Eropa menunjukkan perlambatan dari 1,2 persen (Q1-2019) menjadi 1,1
persen (Q2-2019). Turki sebagai salah satu anggota G20 tidak luput dari
serangan resesi ekonomi. Turki dalam dua triwulan berturut-turut mengalami
kontraksi pertumbuhan ekonomi dari -2,4 persen (Q1–2019) menjadi -1,5 persen
(QII–2010).
Begitupun
dengan Jerman yang notabene penguasa ekonomi Eropa telah bersiap menghadapi
badai resesi yang lebih besar. Menurut Macroeconomic Policy Institute
kemungkinan Jerman jatuh dalam jurang resesi mencapai hampir 60 persen. Sektor
manufaktur Jerman yang mengandalkan pasar ekspor telah terpapar dampak perang
dagang AS – China serta gejolak Brexit. Akibat melemahnya sektor manufaktur
Jerman, ekonomi ‘negara mesin’ itu pun terus merosot dari 0,7 persen (Q1–2019)
menjadi 0,4 persen (Q2–2019).
Ketiga, perang dagang
telah berimbas pada kinerja ekonomi China. Pertumbuhan ekonomi China telah
menyentuh level terendah dalam tiga dekade terakhir yaitu hanya sebesar 6,2
persen pada kuartal kedua 2019. Output industri China tumbuh terlemah sejak
tahun 2002, yaitu hanya naik 4,4 persen (yoy) per Agustus 2019, lebih rendah
dibandingkan pertumbuhan Juli 2019 (4,8 persen). Padahal target output industri
China dipatok pada level 6 persen. Turunnya output industri China tersebut
tidak lepas akibat anjloknya ekspor China ke AS hingga 16 persen (yoy) per
Agustus 2019. Dengan kondisi tersebut semakin sulit bagi China untuk
mempertahankan pertumbuhan ekonomi di atas level 6 persen.
Komentar
Posting Komentar