Hubungan Logika dengan Filsafat
|
How? |
Ilmu sering diartikan sebagai suatu alat untuk
mengetahui segala hal yang belum diketahui, baik ia bersifar riil, ataupun
abstrak, dengan keyakinan yang berdasar, entah ia sesuai dengan kenyataan
ataupun tidak. Adapun logika sering diartikan sebagai suatu cara bernalar
secara sistematis, atau tepatnya cara untuk mencari jalan, guna tercapainya
ilmu yang benar. Karena kedua hal tersebut tidaklah mungkin dapat dispisahkan,
karena keduanya saling melengkapi satu sama lainnya. Jadi logika, ialah jalan
untuk mencapai pengetahuan yang benar, dan ilmu yang benar membutuhkan logika.
Dalam hidup, panca indra manusia pastilah akan
sering terbentur dengan banyak hal, terlebih lagi apa yang belum ia ketahui.
Karenanya ia sangatlah memerlukan bantuan dari akal, ilmu, serta cara bernalar
yang benar. Sehingga dengan alat tersebut, maka akhirnya sesuatu yang tadinya
tidak mungkin diketahui manusia, menjadi bukan lagi sebuah kemustahilan untuk
dicapai olehnya. Sehingga sesuatu yang tadinya asing, akan dapat di mengerti
dan dipahami dengan segala sifat dan karaktersitiknnya. Lebih jauh lagi, jika
dikaitkan dengan disiplin keilmuan lain, maka indentifikasi terhadap
karakteristik suatu ilmu pengetahuan, adalah inti pola pemikiran filsafat.
Filsafat sendiri tidak dapat didefinisikan
secara pasti, karena ia berkaitan dengan masing-masing filsuf yang berkaitan
dengannya. Seperti Plato, yang menyatakan filsafat sebagai ilmu yang berusaha
meraih sebuah kebenaran yang murni. Adapun menurut Aristoteles, ia adalah suatu
ilmu pengetahuan yang berusaha mencari prinsip-prinsip dan penyebab dari adanya
suatu realitas. Namun secara singkat kita dapat mendefinisikannya sebagai suatu
ilmu pengetahuan yang berusaha memahami hakekat alam, dan realitas, serta
membawa manusia untuk menelusuri batas-batas kemanusiaan, dan mengimani
batas-batas ketuhanan, yang artinya ia sangat berkaitan dengan rasio dalam
menalar dan iman dalam meyakini.
Dalam perkembangannya filsafat
sering dikatakan sebagai kakak kandung dari logika, maka dari itu ia harus
lebih “pintar” dari logika itu sendiri. Hal ini dikarenakan bahwa inti dari
filsafat adalah membentuk sebuah pola pikir, bukan sekedar mengisi kepada
dengan fakta-fakta. Sehingga kelebihan filsafat itu sendiri dapat dikatakan
mampu melengkapi manusia dalam banyak bidang non akademis, bahkan ia juga
diplot mampu membawa perubahan kemandirian intelektual, dan dogmatis. Maka dari
itu, berfilsafat berarti menyusun dan mempertanyakan keyakinan-keyakinan
seseorang dengan menggunakan argumentasi rasional.
Maka jika dikatakan bahwa filsafat merupakan
penyempurnaan dari logika, lantas perlu diketahui beberapa faktor minus dari
logika yang dilengkapi, atau ditambal oleh filsafat, di antaranya adalah
beberapa pandangan berikut:
A. Logika sebagai “Instrumentalisme.”
Logika di sini dianggap sebagai sebuah sarana
atau instrument, sehingga ia dianggap hanya akan menciptakan hal yang
sebenarnya. Karena apabila manusia menitik pusatkan alam, maka ia akan
memberikan kepastian yang jalas, dan dalam cakupan yang lebih luas. Namun tidak
demikian jika pusatnya adalah kehidupan, sebab hidup hanya membawa kepada
ketidakpastian. Hal inilah yang setidaknya menurut Joseph S. Wu membedakan
antara orang Barat, yang menitik beratkan kepada Alam, dan orang Timur kepada
Kehidupan.
Pada umumnya, logika dianggap sebagai instrumen
untuk membuat intelligen tindakan yang terlibat rekonstruksi situasi
problematik. Tindakan tersebut akan melahirkan sebuah proses, yang simbolisasi
dan proposional. Proposisi-proposisi ini pada umumnya merupakan alat-alat
logis, yang merupakan serangkaian keputusan yang diambil. Dan karena instrumen
tersebut adalah berupa ide, maka kebenaran ataupun nilainya ditentukan seperti
menentukan kebaikan sebuah alat, dengan cara menggunakannya dalam praktek,
ataupun dalam memecahkan masalah. Artinya tingkat kebenaran alat tersebut akan
ditentukan dengan bagaimana keadaan, dan hasil darinya ketika ia digunakan
dalam sebuah praktek dalam memecahkan permasalahan.
B. Logika sebagai “Formalisme.”
Anggapan bahwa dengan mengikuti
hukum-hukum pikir maka seseorang dapat mencapai sebuah kebenaran. Sehingga
kontradiksi antara suatu komitmen pada aturan-aturan secara mekanis dapat
diterapkan sebagai suatu bentuk penyelesaian perselisihan yang tepat.47 Artinya
logika diplot sebagai sebuah track yang harus dilalui dalam
menyelesaikan sebuah probelmatika, karena ia bersifat skematis, dan teratur.
Dalam perkembangannya, sketimatisme logika,
keterlibatan, dan keterarurannya yang dipegang secara teguh tanpa kompromi,
mendapatkan sentilah cukup kerat dari beberapa tokoh filsafat, salah satunya
Jascues Derrida. Ia menawarkan sebuah paradigma dekonstruksi untuk
konstruksi-konstruksi yang beku yang akan berakibat pada kematian
inspirasi-inspirasi yang lahir dari batin yang telah mati sebagai akibat dari
formalisme ini.48 Baginya, manusa tidak bisa selamanya untuk tunduk sepenuhnya
pada rasionya, namun ada batasannya saat di mana ia harus mempertimbangkan
bisikan batinnya.
C. Logika sebagai “Universalisme.”
Keyakinan yang mengatakan bahwa pengetahuan
yang merupakan hasil dari pekerjaan logika bisa mencapai derajat kebenaran
universal (kehidupan universal). Hal inilah yang dikenal dalam istilah John
Stuart Mill sebagai Universal Postulates of All Reasoning.49 Ia mejadi
hukum dasar logika, untuk mencapai hal inilah mengapa dalam silogisme
Aristoteles, sebuah proposisi yang bersifat universal selalu didahulukan
sebelum menyebutkan hal-hal yang bersifat khusus.50 Maka dari itu walaupun
logika bersifat universal namun ia mengandung implikasi parsial yang kesemuanya
akan mengantarkan kepada adanya keterbatasan manusia.51
Pemahaman bahwa pengetahuan produk logika
bersifat universal, telah mendapat kritikan yang tidak ringan. Kant salah
satunya, ia melihat logika tidak mungkin untuk dapat digunakan dalam semua lini
kehidupan manusia. Ia juga mencontohkan bahwa untuk menilai sebuah tingkat
keindahan yang menimbulkan kesenangan ataupun kenikmatan tidak mungkin
dilakukan dengan logika. Keindahan menurutnya bukanlah sebuah konsep penilaian
mengenai sebuah obyek, dan penilaian terhadap rasa bukan pula suatu hal yang
kognitif, ia bersifat personal, subyektif, dan tidak rasional.52 Sehingga
perasaan individu manusia tidak logis pun memiliki universalitas penilaian,
khususnya dalam bidang yang bersifat apriori.
D. Logika sebagai “Saintisme”
Suatu anggapan yang mengatakan bahwa
suatu pengetahuan yang ada pada derajat keilmiahan tertinggi adalah sains.
Adapun posisi logika merupakan alat control, dan baca ilmu pengetahuan, namun
ia tidak sepenuhnya mutlak sebagai dasar dari sains yang ada. Dalam pandangan
ini filsafat, dinilai menolak untuk menerima apapun yang tidak bisa diketahui
secara jelas, dan terpilah-pilah.53 Sehingga suatu ilmu pengetahuan haruslah
merupakan suatu hal yang diafirmasi oleh bukti-bukti yang nyata, dan dapat
dipertanggung jawabkan secara rasional.
Dari pembahasan tersebut dapat
disimpulkan bahwasanya peran filsafat adalah memeriksa prinsip-prinsip yang
digunakan oleh para pemikir dalam mengolah data, analisis, dan pengambilan
kesimpulan teoritis dari sebuah penelitian.54 Dengan kata lain, filsafat
menilai proses kerja, dan logika internal dalam dunia penelitian saintifik.55
Selain itu, ia juga memungkinkan uttuk memeriksa efek-efek dari suatu ilmu pengetahuan
dan dampaknya terhadap eksistensi kehidupan manusia.
Komentar
Posting Komentar