BACA JUGA

Pertalite Ron 86 penyebab mesin ambrol !

  Pertalite Ron 86 penyebab mesin ambrol ! Konsekuensi pertama yang harus dirasakan saat menggunakan Pertalite dengan Ron 86 adalah keborosan, ini jangka pendek jangka panjangnya ambrol tu mesin kamu hahaha.. Kenapa hal itu bisa terjadi? kalian perlu ketahui dahulu apa itu manfaat Ron atau Research Octan Number pada pembakaran mesin. Ron 86 merupakan bagian dari bilangan oktan, bilangan octan sendiri merupakan angka yang menunjukkan seberapa besar tekanan yang bisa diberikan sebelum bensin terbakar secara spontan. Pada pembakararn di dalam mesin, campuran udara dan bensin mendapatkan tekanan akibat kinerja dari piston sampai dengan volume yang sangat kecil, yang kemudian dibakar oleh percikan api yang dihasilkan busi. Ron yang biasa digunakan antara lain, 87, 88, 89, 90, 91 dan bahkan ada yang lebih juga. Research Octane Number ? Bilangan oktan bisa ditingkatkan dengan menambahkan zat aditif bensin. Penambahan  tetraetil timbal  (tetraethyl lead atau TEL, Pb(C2H5)4) pada bensin a

Makalah Gangguan Berbahasa Psikolinguistik

 Makalah Gangguan Berbahasa Psikolinguistik

Gangguan Berbahasa

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1 Latar Belakang Masalah

            Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Berbahasa merupakan proses mengomunikasikan bahasa tersebut. Proses berbahasa sendiri memerlukan pikiran dan perasaan yang dilakukan oleh otak manusia untuk menghasilkan kata-kata atau kalimat. Secara teoritis proses berbahasa dimulai dengan enkode semantik, enkode gramatika dan enkode fonologi. Enkode semantik dan enkode gramatika berlangsung dalam otak, sedangkan enkode fonologi dimulai dari otak lalu diteruskan pelaksanaannya oleh alat-alat bicara yang melibatkan sistem syaraf otak bicara.

Ketiga enkode tersebut berkaitan dalam kegiatan produksi bahasa seseorang yang juga berkaitan erat dengan hubungan antara otak dan organ bicara seseorang.
Manusia yang normal fungsi otak dan alat bicaranya tentu dapat berbahasa dengan baik. Namun, mereka yang memiliki kelainan fungsi otak dan alat bicaranya, tentu mempunyai kesulitan dalam berbahasa, baik produktif maupun reseptif. Jadi, kemampuan berbahasa terganggu. Gangguan-gangguan berbahasa tersebut sebenarnya akan sangat mempengaruhi proses berkomunikasi dan berbahasa. Banyak faktor yang mempengaruhi dan menyebabkan adanya gangguan berbahasa, kemudian factor-faktor tersebut akan menimbulkan gangguan berbahasa. Maka dari itu, dalam makalah ini akan dijabarkan macam gangguan berbahasa yang sering dialami manusia berserta factor-faktor yang menyebakannya.

1.2 Identifikasi Masalah

            Dalam komounikasi-bahasa ada dua pihak yang terlibat, yaitu pengirim pesan (sender) dan penerima pesa (reciver). Ujaran (berupa kalimat atau kalimat-kalimat) yang digunakan untuk menyampaikan pesan (berupa gagasan, pikiran, saran, dan sebagainya) disebut pesan. Dalam hal ini pesan itu tidak lain pembawa gagasan (pikiran, saran dan lain sebagainya) yang disampaikan pengirim atau penutur kepada penerima. Setiap proses komunikasi bahasa dimulai dari si pengirim merumuskan terlebih dahulu yang ingin diujarkan dalam satu kerangka gagasan. Proses ini dikenal dengan istilah semantic encoding.

            Dari urain tersebut menunjukan banyak memungkinkan adanya determinan kecacatan dalam komunikasi-bahasa. Kecacatan dalam komunikasi-bahasa tersebut bisa disebut sebagai adanya gangguan berbahasa, yang memberikan adanya relasi seorang penutur dengan kondisi psikologisnya atau karena faktor lain. Dalam makalah ini masalah yang hadir secara umum adalah adanya gangguan berbahasa secara medis dan faktor lingkungan.

1.3 Rumusan Masalah

1. Apakah gangguan berbahasa itu?

2. Bagaimanakah gangguan berbahasa karena faktor medis?

3. Bagaimanakah gangguan berbahasa karena faktor lingkungan?

1.4 Batasan Masalah

            Luasnya domain bahasa dalam psikolinguistik, maka penulis membatasi masalah yang dibahas dalam makalah ini. Makalah ini membahas tentang gangguan berbahasa, gangguan bahasa tersebut disebabkan dari segi medis dan lingkungan.

1.5 Tujuan Penulisan

1. Memahami tentang gangguan berbahasa.

2. Memahami tentang gangguan berbahasa yang disebabkan oleh faktor medis.

3. Memahami tentang gangguan berbahasa yang disebabkan oleh faktor lingkungan.

1.6 Manfaat Penulisan
a. Manfaat Praktis
Menambah pengetahuan dan wawasan pembaca dalam bidang psikolinguistik terutama yang menyangkut masalah gangguan berbahasa.
b. Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis dari pembuatan makalah ini adalah untuk menambah referensi dalam bidang psikolinguistik.

BAB II

PEMBAHASAN

 

A. Gangguan Berbahasa

Manusia yang normal fungsi otak dan alat berbicara, tertentu dapat berbahasa dengan baik. Namun, mereka yang memiliki kelainan fungsi otak dan alat berbicaranya, tentu mempunyai kesulitan dalam berbahasa, baik produktif maupun reseptif. Jadi, kemampuan berbahasa terganggu.

Gangguan berbahasa ini secara garis besar dapat dibagi dua. Pertama, gangguan akibat faktor medis; dan kedua, akibat faktor lingkungan sosial. yang dimaksud dengan faktor medis adalah gangguan, baik akibat kelainan fungsi otak maupun kelainan alat-alat bicara. Sedangkan yang dimaksud dengan faktor lingkungan sosial adalah lingkungan kehidupan yang tidak alamiah manusia, seperti tersisih atau terisolasi dari lingkungan kehidupan masyarakat manusia yang sewajarnya.

Secara medis menurut Sidharta (1984) gangguan berbahasa itu dapat dibedakan atas tiga golongan, yaitu (1) gangguan berbicara, (2) gangguan berbahasa, dan (3) gangguan berpikir. Ketiga gangguan itu masih dapat diatasi kalau penderita gangguan itu mempunyai daya dengar yang normal; bila tidak tentu menjadi sukar atau sangat sukar.

1.        Gangguan Berbicara

Berbicara merupakan aktivitas motorik yang mengandung modalitas psikis. Oleh karena itu, gangguan berbicara ini dapat dikelompokkan kedalam dua kategori. Pertama, gangguan mekanisme berbicara yang berimplikasi pada gangguan organik; dan kedua, gangguan berbicara psikogenik.

a.        Gangguan Mekanisme Berbicara

Mekanisme berbicara adalah suatu proses produksi ucapan (perkataan) oleh kegiatan terpadu dari pita suara, lidah, otot-otot yang membentuk rongga mulut serta kerongkongan, dan paru-paru. Maka gangguan berbicara berdasarkan mekanismenya ini dapat dirinci menjadi gangguan berbicara akibat kelainan pada paru-paru (pulmonal), pada pita suara (laringal), pada lidah (lingual), dan pada rongga mulut dan kerongkongan (resonantal).

1.        Gangguan Akibat Faktor Pulmonal

Gangguan berbicara ini dialami oleh para penderita penyakit paru-paru. Para penderita penyakit paru-paru ini kekuatan bernapasnya sangat kurang, sehingga cara berbicaranya diwarnai oleh nada yang monoton, volume suara yang kecil sekali, dan terputus-putus, meskipun dari segi semantik dan sintaksis tidak ada masalah.

2.        Gangguan Akibat Faktor Laringal

Gangguan pada pita suara menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi serak atau hilang sama sekali. Gangguan berbicara akibat faktor laringal ini ditandai oleh suara yang serak atau hilang, tanpa kelainan semantik dan sintaksis. Artinya, dilihat dari segi semantik dan sintaksis ucapannya bisa diterima.

3.        Gangguan Akibat Faktor Lingual

Lidah yang sariawan atau terluka akan terasa pedih kalau digerakkan. Untuk mencegah timbulnya rasa pedih ini ketika berbicara maka gerak aktivitas lidah itu dikurangi secara semaunya. Dalam keadaan seperti ini maka pengucapan sejumlah fonem menjadi tidak sempurna, sehingga misalnya, kalimat “Sudah barang tentu dia akan menyangkal” mungkin akan diucapkan menjadi “Hu ah ba-ang ke-ku ia a-an meangkay”.

Pada orang yang terkena stroke dan badannya lumpuh sebelah, maka lidahnya pun lumpuh sebelah. Oleh karena itu, cara berbicaranya juga akan terganggu, yaitu menjadi pelo atau cadel. Istilah medisnya ­disatria (yang berarti terganggunya artikulasi). Gejala terkena stroke banyak dikenali dari kepeloan ini.

4.        Gangguan Akibat Faktor Resonansi

Gangguan akibat faktor resonansi ini menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi bersengau. Pada orang sumbing, misalnya, suaranya menjadi bersengau (bindeng) karena rongga mulut dan rongga hidung yang digunakan untuk berkomunikasi melalui defek di langit-langit keras (palatum), sehingga resonansi yang seharusnya menjadi terganggu. Hal ini terjadi juga pada orang yang mengalami kelumpuhan pada langit-langit lunak (velum). Rongga langit-langit itu tidak memberikan resonansi yang seharusnya, sehingga suaranya menjadi bersengau. Penderita penyakit miastena gravis (gangguan yang menyebabkan otot menjadi lemah dan cepat lelah) sering dikenali secara langsung karena kesengauan ini.

b.        Gangguan Akibat Multifaktorial

Akibat gangguan multifaktorial atau berbagai faktor bisa menyebabkan terjadinya berbagai gangguan berbicara. Antara lain adalah berikut ini.

1.        Berbicara Serampangan

Berbicara serampangan atau sembrono adalah berbicara dengan cepat sekali, dengan artikulasi yang rusak, ditambah dengan “menelan” sejumlah suku kata, singgah apa yang diucapkan sukar dipahami. Dalam kehidupan sehari-hari kasus ini memang jarang dijumpai; tetapi di dalam praktek kedokteran sering ditemui. Umpanya kalimat “Kemarin pagi saya sudah beberapa kali kesini”. Berbicara serampangan ini karena kerusakan di serebelum atau bisa juga terjadi sehabis terkena kelumpuhan ringan sebelah badan.

2.        Berbicara Propulsif

Gangguan berbicara propulsif biasanya terdapat pada para penderita penyakit parkinson (kerusakan pada otak yang menyebabkan otot menjadi gemetar, kaku, dan lemah). Para penderita penyakit ini biasanya bermasalah dalam melakukan gerakan-gerakan mereka suka sekali memulai suatu gerakan. Namun, bila sudah bergerak maka ia dapat terus menerus tanpa henti. Gerak yang laju terus itu disebut propulsi. Pada waktu berbicara ciri khas ini akan tampak pula. Artikulasi sangat terganggu karena elastisitas otot lidah, otot wajah, dan  pita suara sebagian lenyap. Dalam pada itu volume suaranya kecil, iramanya datar (monoton). Suaranya mula-mula tersendat-sendat, kemudian terus menerus, dan akhirnya tersendat-sendat kembali. Oleh karena itu, cara berbicara seperti ini disebut propulsif.

3.        Berbicara Mutis (Mutisme)

Penderita gangguan mutisme ini tidak berbicara sama sekali. Sebagian dari mereka mungkin masih dapat dianggap membisu, yakni memang sengaja tidak mau berbicara. Mutisme ini sebenarnya bukan hanya tidak dapat berkomunikasi secara verbal saja, tetapi juga tidak dapat berkomunikasi secara visual maupun isyarat seperti dengan gerak gerik dan sebagainya.

Dunia ilmiah sebenarnya belum datang menjelaskan dengan tepat apa itu mutisme. Oleh karena itu, tak heran kalau kita dapatkan berbagai teori dan anggapan dari berbagai pihak mutisme itu. Oleh karena itu pula, setiap orang yang tidak dapat berkomunikasi verbal dinyatakan sebagai mutistik. Dengan begitu seseorang yang membisu sebagai tindakan protes nonverbal dapat dianggap menderita mutisme histerik, padahal sebenarnya merupakan sindrom konversi histerik. Perwujudan histeria lain adalah mutisme elektif karena membisunya itu ditujukan kepada orang-orang tertentu saja, misalnya kepada gurunya atau pacarnya. Dewasa ini apa yang dulu dikenal sebagai mutisme akinetik lebih dikenal sebagai ­locked-in syndrome. Dalam hal ini, si penderita masih hidup karena jantung, paru-paru, ginjal, hati, dan hampir semua organ masih berfungsi. Hanya gerakan voluntar, pikiran, minat, keinginan, dan semua fungsi luhur lainnya sudah tidak bekerja sama sekali. Mutisme lain yang tidak dapat disembuhkan disebut mutisme idiopatik, yakni mutisme yang belum diketahui penyebabnya. Hanya baru diperkirakan mutisme ini mungkin suatu keadaan jiwa yang terganggu sejak lahir (Sidharta, 1982).

Mutisme tidak bisa disamakan dengan orang bisu, apalagi dengan bisu-tuli. Dalam hal kebisuan ini sebenarnya perlu dibedakan adanya tiga macam penderita. Pertama, orang yang bisu karena kerusakan atau kelainan alat artikulasi, sehingga dia tidak bisa memproduksi ujaran-bahasa; tetapi alat dengarnya normal sehingga dia dapat mendengar suara-bahasa orang lain. Kedua, orang yang bisu karena kerusakan atau kelainan alat artikulasi dan alat pendengarnya, sehingga dia tidak dapat memproduksi ujaran-bahasa dan juga tidak bisa mendengar ujaran-bahasa orang lain. Ketiga, orang bisu yang sebenarnya alat artikulasinya normal tidak ada kelainan; tetapi alat pendengarannya rusak atau ada kelainan. Orang golongan ketiga ini menjadi bisu karena dia tidak mendengar ujaran-bahasa orang lain, sehingga dia tidak bisa menirukan ujaran-bahasa itu.

Pasien golongan petama, yang alat artikulasinya rusak atau mengalami kelainan, sedangkan alat dengarnya normal, kalau fungsi hemisfer otak yang dominannya normal, masih akan dapat berkomunikasi. Hanya tentunya, jika diajak bertutur dia akan menjawab atau bertanya dalam bahasa isyarat, atau dalam bahasa tulis (jika dia sudah belajar menulis).

Pasien golongan kedua yang bisu dan tuli karena artikulasi dan alat pendengarannya rusak, kalau fungsi hemisfer otak yang dominannya normal, masih akan dapat berkomunikasi dengan bahasa isyarat atau dengan bahasa “membaca bibir”. Untuk dapat berkomunikasi itu tentunya mereka memerlukan pendidikan dan pelatihan khusus yang memakan waktu banyak.

Pasien golongan ketiga yang menjadi bisu karena kerusakan atau kelainan alat dengarnya, kalau fungsi hemisfer otak yang dominannya normal, masih bisa dilatih untuk memproduksi ujaran-bahasa secara tidak sempurna karena dia tidak bisa mendengar suara ujaran-bahasa itu. Pelatihan dilakukan dengan cara dia disuruh memperhatikan, memegang, dan merasakan “gerak mulut” pelatih bicaranya. Ini pun tentunya memerlukan waktu yang cukup lama.

Ketiga golongan pasien kasus kebisuan tidak berkaitan dengan fungsi otak. Hanya barangkali perkembangan fungsi otak itu yang terganggu.

c.         Gangguan Psikogenik

Gangguan berbicara psikogenik ini sebenarnya tidak bisa disebut sebagai suatu gangguan berbicara. Mungkin lebih tepat disebut sebagai variasi cara berbicara yang normal, tetapi yang merupakan ungkapan dari gangguan di bidang mental. Modalitas mental yang terungkap oleh cara berbicara sebagian besar ditentukan oleh nada, intonasi, dan intensitas suara, lafal, dan pilihan kata. Ujaran yang berirama lancar atau tersendat-sendat dapat juga mencerminkan sikap mental si pembicara. Gangguan berbicara psikogenik ini antara lain sebagai berikut.


 

1.        Berbicara Manja

Disebut berbicara manja karena ada kesan anak (orang) yang melakukan meminta perhatian untuk dimanja. Umpamanya, kanak-kanak yang baru terjatuh, terluka, atau mendapat kecelakaan, terdengar adanya perubahan pada cara berbicaranya. Fonem atau bunyi [s] dilafalkan sebagai bunyi [c] sehingga kalimat “Saya sakit, jadi tidak suka makan, sudah saja, ya” akan diucapkan menjadi “Caya cakit, jadi tidak cuka makan, cudah, ya”. Dengan berbicara demikian dia mengungkapkan keinginannya untuk dimanja. Gejala seperti ini kita dapati juga pada orang tua pikun atau jompo (biasanya wanita). Gejala ini memberikan kesan bahwa struktur bahasa memiliki substrat serebal. Namun, bagaimana struktur organisasinya belum diketahui dengan jelas. Masih dalam penelitian.

2.        Berbicara Kemayu

Berbicara kemayu (istilah dari Sidharta, 1989) berkaitan dengan perangai kewanitaan yang berlebihan. Jika seorang pria bersifat atau bertingkah laku kemayu jelas sekali gambaran yang dimasudkan oleh istilah tersebut. Berbicara kemayu dicirikan oleh gerak bibir dan lidah yang menarik perhatian dan lafal yang dilakukan secara ekstra menonjol atau ekstra menonjol atau ekstra lemah gemulai dan ekstra memanjang (Inggris: lips; Belanda: lispelen). Meskipun berbicara seperti ini bukan suatu gangguan ekspresi bahasa, tetapi dapat dipandang sebagai sindrom fonologik yang mengungkapkan gangguan identitas kelamin terutama jika yang dilanda adalah kaum pria.

3.        Berbicara Gagap

Gagap adalah berbicara yang kacau karena sering tersendat-sendat, mendadak berhenti, lalu mengulang-ulang suku kata pertama, kata-kata berikutnya, dan setelah berhasil mengucapkan kata-kata itu kalimat dapat diselesaikan. Acapkali si pembicara tidak berhasil mengucapkan suku kata awal, hanya dengan susah payah berhasil mengucapkan konsonan atau vokal awalnya saja. Lalu dia memilih kata lain, dan berhasil menyelesaikan kalimat tersebut meskipun dengan susah payah juga. Dalam usahanya mengucapkan kata pertama yang barangkali gagal, si pembicara menampakkan rasa letih dan rasa kecewanya.

Apa yang menyebabkan terjadinya gagap ini belum diketahui secara tuntas. Namun, hal-hal berikut dianggap mempunyai peranan dalam menyebabkan terjadinya kegagapan itu.

  1. Faktor-faktor “stres” dalam kehidupan berkeluarga.
  2. Pendidikan anak yang dilakukan secara keras dan ketat, dengan membentak-bentak; serta tidak mengizinkan anak berargumentasi dan membantah.
  3. Adanya kerusakan pada belahan otak (hemisfer) yang dominan.
  4. Faktor neurotik famial.

4.        Berbicara Latah

Latah sering disamakan dengan ekolalla, yaitu perbuatan membeo, atau menirukan apa yang dikatakan orang lain; tetapi sebenarnya latah adalah suatu sindrom yang terdiri atas curah verbal repititif yang bersifat jorok (koprolalla) dan gangguan lokomotorik yang dapat dipancing. Koprolalla pada latah ini berorientasi pada alat kelamin laki-laki. Yang sering dihinggapi penyakit latah orang perempuan berumur 40 tahun ke atas. Awal mula timbulnya latah  ini, menurut mereka yang terserang latah; adalah setelah bermimpi melihat banyak sekali penis lelaki sebesar dan sepanjang belut. Latah ini punya korelasi dengan kepribadian histeris. Kelatahan ini merupakan “excuse” atau alasan untuk dapat berbicara dan bertingkah laku porno, yang pada hakikatnya berimplikasi invitasi seksual (lihat juga W.F Maramis, 1998 : 416 – 418)

2. Gangguan Berbahasa

            Berbahasa berarti berkomunikasi dengan menggunakan suatu bahasa. Bagaimana kemapuan berbahasa dikuasai manusia, berkaitan erat dan sejalan dengan perkembangan manusia yang baru lahir itu. Kanak-kanak yang lahir dengan alat artikulasi dan auditori yang normal akan dapat mendengar kata-kata dengan telinganya dengan baik dan juga akan dapat menirukan kata-kata itu. Pada mulanya ucapan tiruanya itu Cuma mirip, tetapi lambat laun akan menjadi tegas dan jelas. Proses memproduksi kata-kata itu berlangsung terus sejalan dengan proses pengembangan pengenalan dan pengertian(gnosis dan kognisis). Dalam perkembangan itu kata-kata akan menjadi perkataan yang merupakan abtraksi atau kata-kata yang mengandung makna. Umpamanya, kata ayam menjadi simbol dari binatang berkaki dua yang bersayap, tetapi tidak terbang seperti burung. Dia hidup dan berjalan di atas bumi seperti anjing, tetapi tidak menggongong, melainkan berkokok. Setingkat lebih maju lagi kemudian kata ayam diasosiasikan dengan jenis, kegunaan, kualitas, dan sebagainya. Dengan demikian kemampuan untuk diferensi antara ayam jantan dan betina, ayam kampung dan ayam negeri, daging ayam dan daging sapi, sudah diperoleh. Proses belajar berbicara dan belajar bahasa adalah proses selebral, yang berarti proses ekspresi verbal dan komprehensi auditorik itu dilakukan oleh sel-sel saraf di otak yang disebut neuron. Proses neuron di otak ini sangat rumit sekali untuk dipahami. Barangkali kalau disederhanakan bisa kita umpamakan dengan alat komputer yang dapat menyimpan (storage) semua masukan dalm bentuk sandi elektronik (coding), yang dapat diangkat kembali (recall) dari simpanan itu. Kemudian alat komputer ini mengalihkan sandi itu dalam bentuk yang dapat dipahami oleh dunia di luar komputer (decoding). Gudang tempat menyimpan sandi ekspresi kata-kata di otak adalah di daerah Broca, sedangkan gudang tempat meyimpan sandi komprehensi kata-kata adalah di daerah Wernicke.

            Berbahasa, seperti sudah disebutkan di atas, berarti komunikasi dengan menggunakan suatu bahasa. Untuk dapat berbahasa diperlukan kemampuan mengeluarkan kata-kata. Ini berarti, daerah Broca dan Wernicke  harus berfungsi dengan baik. Kerusakan pada daerah tersebut dan sekitarnya menyebabkan terjadinya gangguan bahasa yang disebut afasia, dalam hal ini Broca sendiri menamai afemia.

            Perkembangan gerakan voluntar pada otak yang pada mulanya bersifat kaku dan kasar, kemudian menjadi luwes, ternyata tidak terjadi pada kedua belahan otak (hemisferium) secara sama. Mekanisme neuronal yang mendasari penyempurnaan gerakan voluntar itu ternyata lebih lengkap dan lebih rumit hanya pada salah satu belahan otak saja. Oleh karena itu, terdapatlah orang-orang yang lebih mampu menggunakan anggota gerak yang sebelah kiri dari sebelah kanan, atau sebaliknya. Maka terdapatlah orang yang kidal dan tidak kidal. Belahan otak (hemisferium) yang memiliki organisasi neuronal yang lebih sempurna itu dikenal sebagai hemisferium yang dominan. Dalam pertumbuhan dan perkembangan otak terbentuk daerah broca dan Wernicke terjadi pada hemisferium yang dominan. Pada orang kidal hemisferium kananlah yang dominan, dan pada orang yang tidak kidal, hemisferium kirilah yang dominan.

            Kajian tentang afasiologi dalam perkembanganya menghasilkan berbagai taksonomi yang sangat membingungkan seperti yang dibuat oleh Benson (1975), Rapin (neurolog kanak-kanak), dan Allen (psikolinguis) (Rapin dan Allen, 1998); tetapi taksonomi yang telah disederhanakan oleh Benson, afasia ini dibedakan atas afasia ekspresi atau afasia motorik, yang dulu dikenal sebagai afasia tipe Broca, dan Iafasia reseptif atau afasia sensorik yang dulu dikenal sebagai afasia Wernicke.

a. Afasia Motorik

            Kerusakan pada belahan otak yang dominan yang menyebabkan terjadinya afasia motorik bisa terletak pada lapisan permukaan (leksikortikal) daerah Broca. Atau pada lapisan di bawah permukaan (lesi subkortikal) daerah Broca atau juga daerah otak antara daerah Broca dan daerah Wernicke (lesi trans kortikal). Oleh karena itu, didapati adanya tiga macam afasia motorik.

1. Afasia Motorik Kortikal

            Tempat menyimpan sndi-sandi perkataan adalah di korteks daerah Broca. Maka apabila gudang penyimpanan itu musnah, tidak akan ada lagi perkataan yang dapat dikeluarkan . jadi, afasia motorik kortikal berarti hilangnya kemampuan untuk mengutarakan isi pikiran dengan menggunakan perkataan. Penderita afasia motorik kortikal ini masih bisa mengerti bahasa lisan dan bahasa tulisan. Namun, ekspresi verbal tidak bisa sama sekali; sedangkan ekspresi visual (bahasa tulis dan bahsa isyarat) masih bisa dilakukan.

2. Afasia Motorik Subkartikal

Sandi-sandi perkataan disimpan di lapisan permukaan (korteks) daerah Broca, maka apabila kerusakan terjadi pada bagian bawahnya (subkortikal) semua perkataan masih tersimpan utuh di dalam gudang. Namun, perkataan itu tidak dapat dikeluarkan karena hubungan terputus, sehingga perintah untuk mengeluarkan perkataan tidak dapat disampaikan. Melalui jalur lain tampaknya perintah untuk mengeluarkan perkataan masih dapat disampaikan ke gudang penyimpanan perkataan itu (gudang Broca) sehingga ekspresi verbal masih mungkin dengan pancingan. Jadi, penderita afasia motorik subkortikal tidak dapat mengeluarkan isi pikiranya dengan menggunakan perkataan; tetapi masih bisa mengeluarkan perkataan dengan cara membeo. Selain itu, pengertian bahasa verbal dan visual tidak terganggu, dan ekspresi visual pun terjadi.

3. Afasia Motorik Transkortikal

            Afasia Motorik Transkortikal terjadi karena terganggunya hubungan antara daerah Broca dan Wernicke. Ini berarti, hubungan langsung antara pengertian dan ekspresi bahasa terganggu. Pada umumnya afasia motorik transkortikal ini merupakan leksikortikal yang merusak sebagaian daerah Broca. Jadi, penderita afasia motorik transkortikal dapat mengutarakan perkataan yang singkat dan tepat; tetapi masih mungkin menggunakan perkataan substitusinya. Misalnya untuk mengatakan “Pensil” sebagai jawaban atas pertanyaan “Barang yang saya pegang ini namanya apa?” Dia tidak mampu mengeluarkan perkataan itu. Namun, mampu untuk mengeluarkan perkataan “Itu, tu, tu, tu, untuk menulis.” Afasia jenis ini disebut juga afasia nominatif.

b. Afasia Sensorik

            Penyebab terjadinya afasia sensorik adalah akibat dari adnya kerusakan pada leksikortikal daerah Wernicke pada hemisferium yang dominan. Daerah itu terletak di kawasan asosiatif antara daerah visual, daerah sensorik, daerah motorik, dan daerah pendengaran. Kerusakan di daerah Wernicke ini menyebabkan bukan saja apa yang didengar (pengertian auditorik) terganggu. Jadi, penderita afasia sensorik kehilangan pengertian bahasa lisan dan tulis. Namun, dia masih memiliki curah verbal meskipun hal itu tidak dipahami oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain.

            Curah verbalnya itu merupakan bahasa baru (neologisme) yang tidak dipahami oleh siapapun. Curah verbalnya itu dari kata-kata, ada yang mirip, ada yang tepat dengan perkataan suatu bahasa; tetapi kebanyakan tidak sama atau sesuai dengan perkataan bahasa apa pun.

            Neologismenya itu diucapkan denga irama, nada, dan melodi yang sesuai bahasa asing yang ada. Sikap merekapun wajar-wajar saja, seakan-akan dia berdialog dalam bahsa yang saling dimengerti. Dia bersikap biasa, tidak tegang, tidak marah, atau depresif. Sesungguhnya apa yang diucapkan maupun apa yang didengarnya (bahasa verbal yang normal), keduanya sama sekali tidak dipahaminya.

3. Gangguan Berpikir

            Dalam sosiolinguistik ada dikatakan bahwa setiap orang mempunyai kecenderungan untuk menggunakan perkataan-perkataan yang disukainya sehingga corak bahasanya adalah khas bagi dirinya. Hal ini dalam sosiolinguistik disebut idiolek, atau ragam bahsa perseorangan (Chaer dan Agustina, 1995)

            Dalam memilih dan menggunakan unsur leksikal, sintaksis dan semantik tertentu seseorang menyiratkan afeksi dan nilai pribadinya pada kata-kata dan kalimat-kalimat yang dibuatanya. Hal ini berarti, setiap orang memproyeksikan kepribadianya pada gaya bahasanya. Lalu kalau diingat bahwa ekspresi verbal merupakan pengutaraan isi pikiran, maka yang tyersirat pada gaya bahasa tertentu adalah pikiran itu. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa ekspresi verbal yang terganggu bersumber atau disebabkan oleh pikiran yang terganggu. Gangguan ekspresi verbal sebagai akibat dari gangguan pikiran dapat berupa hal-hal berikut.

a. Pikun (Demensia)

            Orang yang pikun menunjukan banyak sekali gangguan seperti agnosia, apraksia, amnesia, perubahan kepribadian, perubahan perilaku, dan kemunduran dalam segala hal fungsi intelektual. Semua gangguan itu menyebabkan kurangnya berpikir, sehingga ekspresi verbalnya diwarnai dengan kesukaran menemukan kata-kata yang tepat. Kalimat seringkali diulang-ulang. Apa yang sudah dikatakan diulang lagi. Pembicaraan sering terputus karena arah pembicaraan tidak teringat atau tidak diketahui lagi, sehingga berpindah ke topik lain.

            Dr. Martina Wiwie S. Nasrun (Media Indonesia, 21 Mei 2001) mengatakan bahwa kepikunan atau demensia adalah suatu penurunan fungsi memori atau daya ingat dan daya pikir lainnya yang dari hari ke hari semakin buruk. Gangguan kognitif ini meliputi terganggunya ingata jangka pendek, kekeliruan mengenali tempat, orang, dan waktu. Juga gangguan kelancaran berbicara.

            Penyebab pikun ini antara lain karena terganggunya fungsi otak dalam jumlah besar, termasuk menurunnya jumlah zat-zat kimia dalam otak. Biasanya volume otak akan mengecil dan menyusut, sehingga rongga-rongga dalam otak melebar. Selain itu dapat pula disebabkan oleh penyakit seperti stroke, tumor otak, depresi, dan gangguan sistematik. Pikun yang disebabkan oleh depresi dan gangguan sistematik dapat pulih kembali; tetapi kebanyakan kasus demensia lainnya tidak dapat kembali pada kondisi sebelumnya.

            Selanjutnya, Dr. Martina menjelaskan, hal pertama yang harus dilakukan untuk mengobati demensia adalah mencari tahu penyebab gangguan perilaku tersebut. Apakah karena adanya nyeri fisik akibat luka atau ada hubunganya dengan depresi. Penanggulangan gangguan perilaku pada demensia dapat dilakukan melalui metode non-obat ataupun dengan obat. Tetapi non obat dilakukan sebelum terapi obat. Jika masalah yang dihadapi tidak berat, terapi non-obat dapat memproses penyembuhan.

b. Sisofrenik

            Sisofrenik adalah gangguan berbahasa akibat gangguan berpikir. Dulu pada para penderita sisofronik kronik juga dikenal istilah schizophrenik word salad. Para penderita ini dapat mengucapkan word-salad ini dengan lancar, dengan volume yang cukup, ataupun lemah sekali. Curah verbalnya penuh dengan kata-kata neologisme. Irama serta intonasinya menghasilkan curah verbal yang melodis.

            Seorang penderita sisofrenia dapat berbicara terus menerus. Ocehanya hanya merupakan ulangan curah verbal semula dengan tambahan sedikit-sedikit atau dikurangi beberapa kalimat. Gaya bahasa sisofren dapat dibedakan dalam beberapa tahap dan menurut berbagai kriteria. Yang utama adalah diferensiasi dalam gaya bahasa sisofrenia halusinasi dan pasca-halusinasi.

            Sebelum diganggu halusinasi (biasanya halusinasi auditorik), bahasa para penderita sisofrenik ini tampak terganggu. Pada tahap awal penderita sisofrenia ini mengisolasi pikiranya. Tidak banyak berkomunikasi dengan dunia luar, tetapi banyak berdialog dengan diri sendiri. Ekspresi verbal terbatas, tetapi kegiatan dalam dunia bahasa internal (bahasa dalam pikiran diri sendiri) sangat ramai. Oleh karena itu, gangguan ekspresi verbal sisofrenia tahap awal ini menyerupai mutisme elektif. Pada tahap prahalusinasi ini gaya bahasa verbaldan tulisannya dicoraki dengan penggunaan kata ganti “aku” yang berlebihan. Lalu dia mengalami kesulitan dalam mencari kosa kata yang tepat. Pada tahap berikutnya, penderita mendeteksi bahwa kata-kata yang tidak hendak digunakan justru  secara tidak sengaja digunakan. Gangguan ekspresi verbal itu membuat pasien lebih menarik diri dari pergaulan, sehingga ekspresi verbal menjadi sangat terbatas atau jarang. Begitu halusinasi auditorik melandanya yang terganggu sesungguhnya bukan gaya bahasanya, melainkan makna curah verbalnya yang abnormal. Apa yang dibicarakan atau dikeluhkan memiliki hubungan dengan halusinasinya.

c. Depresif

            Orang yang tertekan dirinya memproyeksikan penderitaannya pada gaya bahasanya dan curah verbalnya. Volume curah verbalnya lemah lembut dan kelancaran terputus-putus oleh interval yang cukup panjang. Namun, arah arus isi pikiran tidak terganggu. Kelancaran bicaranya terputus oleh tarikan napas dalam, serta pelepasan napas keluar yang panjang. Perangi emosional yang terasosiasi dengan depresi itu adalah universal. Curah verbal yang depresif dicoraki oleh topik yang menyedihkan, menyalahi dan mengutuk diri sendiri, kehilangan gairah bekerja dan gairah hidup, tidak mampu menikmati kehidupan. Malah cenderung mengakhirinya.

4. Gangguan Lingkungan Sosial

            Yang dimaksud dengan akibat faktor lingkungan adalah terasingnya seorang anak manusia, yang aspek biologis bahasanya normal dari lingkungan kehidupan manusia. Keterasingannya bisa disebabkan karena diperlakukan secara sengaja (sebagai eksperimen) bisa juga karena hidup bukan dalam alam lingkungan manusia, melainkan dipelihara oleh binatang serigala, seperti kasus Kamala dan Mougli (Chauchard, 1983: 68-69).

            Anak terasing tidak sama dengan kasus anak tuli seperti yang dibicarakan pada subbab terdahulu . anak tuli masih hidup dalam masyarakat manusia. Maka, meskipun dia terasing dari kontak bahasa, tetapi dia masih dapat berkomunikasi dengan orang disekitarnya. Sedangkan anak terasing menjadi tidak bisa berkomunikasi dengan manusia karena dia tidak pernah mendengar suara-ujaran manusia.beda dengan anak terasing yang tidak pernah mendengar suara orang dan anak tuli adalah bahwa anak tuli dirugikan karena tidak bisa mendengar suaranya sendiri maupun suara orang lain. Suara-suaranya sendiri hanya bisa dirasakan sebagai gerak-gerak urat dan otot daging mulut. Suara anak tuli tidak seberapa kuat jika dibandingkan dengan suara anak yang tidak tuli. Suara-suara anak tuli lekas sekali berhenti, meskipun dia mampu merasakan gerakan mulut dan suara-suaranya waktu mengeluarkan suara itu. Dia merasakan gerak mulut itu karena adanya rasa akan getaran-getaran organ-organ  pembentuk suara, atau dia melihat gerak mulut orang lain dan lalu dia menirukannya. Pada anak tuli ini tidak ada cukup motivasi agar suara-suaranya bisa berkembang. Hal ini berbeda dengan anak normal (tidak tuli) yang tercerai dari masyarakat. Dia dapat mengeluarkan suaranya, tetapi dia tidak pernah mendengar suara (perkataan) orang lain dari sekelilingnya; padahal suara (perkataan) orang lain dari sekeliling anak itu sangat berperan dalam mengembangkan kemampuan berbicara. Tanpa mendengar suara-bahasa orang sekeliling tidak mungkin kemampuan berbahasa dapat berkembang.

            Jadi, anak terasing karena tidak ada orang yang mengajak dan diajak berbicara, tidak mungkin dapat berbahasa. Karena dia sama sekali terasing dari kehidupan sosial masyarakat, maka dengan cepat ia menjadi sama sekali tak dapat berbahasa. Otaknya menjadi tidak lagi berfungsi secara manusiawi karena tidak ada yang membuatnya atau memungkinkannya berfungsi demikian. Maka sebenarnya anak terasing, yang tidak punya kontak dengan manusia, bukan lagi manusia, sebab manusia pada hakikatnya mahkluk sosial. Meskipun bentuk badanya manusia tetapi dia tidak bermartabat sebagai manusia. Otaknya tidak berkembang sepenuhnya, tidak dapat berfungsi dalam masyarakat manusia, dan akhirnya tidak mampu sebagai manusia setelah beberapa tahun. Anak terasing tidak sama dengan orang primitif, sebab orang primitif masih hidup dalam suatu masyarakat. Meskipun taraf kebudayaan sangat rendah, tetapi tetap dalam suatu lingkungan sosial. Kanak-kanak memiliki segala kemungkinan untuk menjadi manusia selama masih kanak-kanak; selepas umur tujuh tahun anak itu tidak dapat dididik untuk mempelajari kebudayaan yang lebih tinggi (Chauchard, 1983:68).

Dalam sejarah tercatat sejumlah kasus anak terasing, baik yang diasuh oleh hewan (serigala) maupun yang “terasingkan” oleh keluarganya. Berikut akan dikemukakan dua contoh kasus; pertama kasus Kamalla, kanak-kanak perempuan yang sampai usia 8 tahun dipelihara oleh serigala, dan kedua kasus Genie, kanak-kanak Amerika yang sejak berusia 20 bulan dikucilkan di ruangan kecil dan gelap dengan kaki terikat.

a. Kasus Kamala

            Kasus adanya anak manusia yang dipelihara oleh serigala menurut catatan Zingg sejak tahun 1344 telah ada 31 kasus (dalam Chauchard 1983: 68). Salah satu diantaranya adalah Kamala dan adiknya, kanak-kanak perempuan India yang telah ditemukan oleh seorang misionaris di Midnapore, India. Mungkinkah seorang anak manusia dipelihara oleh serigala? Dari kasus Kamala dan kasus-kasus sebelumnya, hal itu bisa saja terjadi. Apalagi di India, sebab di sana serigala betina tidak seberapa buas dan sudah biasa hidup dengan manusia.

            Ketika baru ditemukan Kasmala diperkirakan berumur 8 tahun, dan adiknya berumur 2 tahun. Kamala masih bisa hidup sampai 9 tahun kemudian, sedangkan adiknya tak lama setelah ditemukan meninggal. Karena hidup di tengah serigala, ia sangat mirip dengan serigala. Ia berlari cepat sekali dengan kedua kaki dan tangannya; mengaum-aum; lebih sering bergaul dengan serigala, tidak bercakap satu patah kata pun; dan tidak terlihat adanya mimik emosi di wajahnya. Sangat sukar untuk mengajaridia berdiri, berjalan, menggunakan tangan; apalagi bercakap-cakap (sampai ia meninggal tak lebih dari 50 kata yang dapat dipelajarinya). Dia mencium-cium, dan mengendus-endus makanan. Dia memeriksa segala sesuatu dengan alat penciuman, mempunyai penglihatan malam yang tajam; dan memiliki pendengaran yang tajam pula. Dia tidak tersenyum maupun tidak tertawa.

            Demikianlah hidup di tengah binatang yang membuat manusia  bukan manusia lagi. Namun, hal ini membuktikan kemapuan anak manusia dapat menyelaraskan diri hidup dengan serigala secara mengagumkan. Berbeda hal dengan binatang yang dijinakan dan “dimanusiakan”; binatang tetap tidak dapat mempelajari bahasa manusia yang sebenarnya.

            Bagaiaman dengan kecerdasan Kamala? Sampai dia meninggal tingkat kecerdasannya tidak pernah diketahui, sebab dia tidak pernah di tes dengan tes-tes objektif yang memungkinkan kita mengetahi apakah kecerdasan praktis Kamala yang tak terbahasankan itu lebih tinggi atau tidak dari kecerdasan seorang anak tidak bercakap (berbicara karena bisu) atau dari seekor kera. Namun, bagaiamana pun Kamala tidak dapat dibandingkan dengan kecerdasan manusia, karena Kamala tidak lagi mempunyai bahasa batin. Jadi, tidak mempunyai pikiran yang sesungguhnya, pikiran yang reflektif (Chauchard, 1983 :69).

b. Kasus Genie

            Kalau Kamala terasing dari masyarakat manusia, dan lalu dipelihara atau dibesarkan di tengah-tengah serigala, maka Genie tetap berada dalam “asuhan” orang tuanya, tetapi dengan cara yang terlepas dari kehidupan manusia yang wajar. Sejak berusia 20 bulan sampai 13 tahun 9 bulan Genie hidup terkucil dalam ruang yang sempit dan gelap dalam posisi duduk dan kaki terikat. Pintu ruangan itu selalu ditutup dan jendela berkelabu tebal. Tidak ada radio atau televisi di rumah itu, dan ayah Genie membenci suara apa pun. Ayahnya tidak mengizinkannya mendengar suara apa pun, dia akan dihukum secara fisik jika membuat suara. Satu-satunya orang yang sering dijumpainya adalah ibunya. Namun, si ibu pun dilarang tinggal lama-lama dengan Genie saat memberinya makan. Tanpa berbicara apa-apa  si ibu memberi makan Genie dengan tergesa-gesa.

            Ketika ditemukan pada tahun 1970, Genie berada dalam kondisi yang kurang terlibat secara sosial, primitif, terganggu secara emosional, dan tak dapat berbahasa (berbicara). Dia dikirim ke rumah anak-anak Los Angeles dengan diagnosis awal sebagai anak yang menderita kurang gizi yang parah.

 

 

BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan

Gangguan berbahasa dalam makalah ini dibagi menjadi dua bagian:

1. Faktor medis adalah gangguan, baik akibat kelainan fungsi otak maupun akibat kelainan alat-alat bicara. Menurut Sidharta (1984) gangguan berbahasa itu dapat dibedakan atas tiga golongan, yaitu:
a) Gangguan berbicara
Gangguan berbicara ini dapat tiga kategori.
i) Gangguan mekanisme berbicara
– Gangguan akibar faktor pulmonal.
– Gangguan Akibat Faktor Laringal.
– Gangguan Akibat Faktor Lingual.
– Gangguan akibat factor resonansi
ii) Gangguan berbicara psikogenik, antara lain:
– Berbicara manja
– Berbicara kemayu
– Berbicara gagap
– Berbicara latah
iii) Gangguan akibat multifaktorial. Gangguan yang timbul antara lain:
– Berbicara serampangan
– Berbicara propulsive
– Berbicara mutis

b) Ganguan berbahasa.

Kerusakan pada daerah Broca dan sekitarnya menyebabkan terjadinya gangguan bahasa yang disebut afasia. Berikut adalah jenis-jenis afasia.
– Afasia motorik kortikal

– Afasia motorik subkortikal

– Afasia motorik transkortikal

– Afasia sensorik

c) Gangguan berpikir.

Ganguan ekspresi verbal sebagai akibat dari gangguan pikiran dapat berupa :
– Pikun

– Sisofernik

– Depresif

2. Faktor lingkungan sosial

Adalah keterasingan seorang anak, secara aspek biologis seorang anak tersebut bisa berbahasa normal. Akan tetapi keterasingannya disebabkan karena diperlakukan dengan sengaja (sebagai eksperimen) bisa juga karena hidup bukan dalam alam lingkungan manusia, melainkan dipelihara oleh sesuatu yang lain.
    Anak terasing karena tidak ada orang yang mengajak dan diajak berbicara, tidak mungkin dapat berbahasa. Karena dia sama sekali terasing dari kehidupan manusia dan sosial masyarakat. Maka, sebenarnya anak terasing yang tidak punya kontak dengan manusia bukanlah lagi manusia, sebab manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial. Otaknya tidak berkembang sepenuhnya, tidak dapat berfungsi dalam masyarakat manusia, dan akhirnya menjadi tidak mampu menjadi manusia normal setelah beberapa tahun.

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul, 2009, Psikolinguistik Kajian Teoritik, Jakarta; PT Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik: Kajian Teoritik. Jakarta: PT. Asdi Mahasatya.           

Abdurrachman dkk. 2009. Gangguan Berbahasa.

 

 

Komentar