Makalah Gangguan Berbahasa Psikolinguistik
|
Gangguan Berbahasa |
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bahasa adalah alat komunikasi antara
anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.
Berbahasa merupakan proses mengomunikasikan bahasa tersebut. Proses berbahasa
sendiri memerlukan pikiran dan perasaan yang dilakukan oleh otak manusia untuk
menghasilkan kata-kata atau kalimat. Secara teoritis proses berbahasa dimulai
dengan enkode semantik, enkode gramatika dan enkode fonologi. Enkode semantik
dan enkode gramatika berlangsung dalam otak, sedangkan enkode fonologi dimulai
dari otak lalu diteruskan pelaksanaannya oleh alat-alat bicara yang melibatkan
sistem syaraf otak bicara.
Ketiga enkode tersebut berkaitan
dalam kegiatan produksi bahasa seseorang yang juga berkaitan erat dengan
hubungan antara otak dan organ bicara seseorang.
Manusia yang normal fungsi otak dan alat bicaranya tentu dapat berbahasa dengan
baik. Namun, mereka yang memiliki kelainan fungsi otak dan alat bicaranya,
tentu mempunyai kesulitan dalam berbahasa, baik produktif maupun reseptif.
Jadi, kemampuan berbahasa terganggu. Gangguan-gangguan berbahasa tersebut
sebenarnya akan sangat mempengaruhi proses berkomunikasi dan berbahasa. Banyak
faktor yang mempengaruhi dan menyebabkan adanya gangguan berbahasa, kemudian
factor-faktor tersebut akan menimbulkan gangguan berbahasa. Maka dari itu,
dalam makalah ini akan dijabarkan macam gangguan berbahasa yang sering dialami
manusia berserta factor-faktor yang menyebakannya.
1.2 Identifikasi Masalah
Dalam komounikasi-bahasa
ada dua pihak yang terlibat, yaitu pengirim pesan (sender) dan penerima pesa (reciver).
Ujaran (berupa kalimat atau kalimat-kalimat) yang digunakan untuk
menyampaikan pesan (berupa gagasan, pikiran, saran, dan sebagainya) disebut
pesan. Dalam hal ini pesan itu tidak lain pembawa gagasan (pikiran, saran dan
lain sebagainya) yang disampaikan pengirim atau penutur kepada penerima. Setiap
proses komunikasi bahasa dimulai dari si pengirim merumuskan terlebih dahulu
yang ingin diujarkan dalam satu kerangka gagasan. Proses ini dikenal dengan
istilah semantic encoding.
Dari urain tersebut menunjukan banyak
memungkinkan adanya determinan kecacatan dalam komunikasi-bahasa. Kecacatan
dalam komunikasi-bahasa tersebut bisa disebut sebagai adanya gangguan berbahasa,
yang memberikan adanya relasi seorang penutur dengan kondisi psikologisnya atau
karena faktor lain. Dalam makalah ini masalah yang hadir secara umum adalah
adanya gangguan berbahasa secara medis dan faktor lingkungan.
1.3 Rumusan Masalah
1. Apakah
gangguan berbahasa itu?
2. Bagaimanakah
gangguan berbahasa karena faktor medis?
3.
Bagaimanakah gangguan berbahasa karena faktor lingkungan?
1.4 Batasan Masalah
Luasnya domain bahasa dalam
psikolinguistik, maka penulis membatasi masalah yang dibahas dalam makalah ini.
Makalah ini membahas tentang gangguan berbahasa, gangguan bahasa tersebut disebabkan
dari segi medis dan lingkungan.
1.5
Tujuan Penulisan
1. Memahami
tentang gangguan berbahasa.
2. Memahami tentang
gangguan berbahasa yang disebabkan oleh faktor medis.
3. Memahami
tentang gangguan berbahasa yang disebabkan oleh faktor lingkungan.
1.6
Manfaat Penulisan
a. Manfaat Praktis
Menambah pengetahuan dan wawasan pembaca dalam bidang psikolinguistik terutama
yang menyangkut masalah gangguan berbahasa.
b. Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis dari pembuatan makalah ini adalah untuk menambah referensi
dalam bidang psikolinguistik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Gangguan Berbahasa
Manusia yang normal fungsi otak dan alat
berbicara, tertentu dapat berbahasa dengan baik. Namun, mereka yang memiliki
kelainan fungsi otak dan alat berbicaranya, tentu mempunyai kesulitan dalam
berbahasa, baik produktif maupun reseptif. Jadi, kemampuan berbahasa terganggu.
Gangguan berbahasa ini secara garis besar
dapat dibagi dua. Pertama, gangguan akibat faktor medis; dan kedua, akibat
faktor lingkungan sosial. yang dimaksud dengan faktor medis adalah gangguan,
baik akibat kelainan fungsi otak maupun kelainan alat-alat bicara. Sedangkan
yang dimaksud dengan faktor lingkungan sosial adalah lingkungan kehidupan yang
tidak alamiah manusia, seperti tersisih atau terisolasi dari lingkungan
kehidupan masyarakat manusia yang sewajarnya.
Secara medis menurut Sidharta (1984)
gangguan berbahasa itu dapat dibedakan atas tiga golongan, yaitu (1) gangguan
berbicara, (2) gangguan berbahasa, dan (3) gangguan berpikir. Ketiga gangguan
itu masih dapat diatasi kalau penderita gangguan itu mempunyai daya dengar yang
normal; bila tidak tentu menjadi sukar atau sangat sukar.
1.
Gangguan
Berbicara
Berbicara merupakan aktivitas motorik
yang mengandung modalitas psikis. Oleh karena itu, gangguan berbicara ini dapat
dikelompokkan kedalam dua kategori. Pertama, gangguan mekanisme berbicara yang
berimplikasi pada gangguan organik; dan kedua, gangguan berbicara psikogenik.
a.
Gangguan Mekanisme
Berbicara
Mekanisme berbicara adalah suatu proses
produksi ucapan (perkataan) oleh kegiatan terpadu dari pita suara, lidah,
otot-otot yang membentuk rongga mulut serta kerongkongan, dan paru-paru. Maka
gangguan berbicara berdasarkan mekanismenya ini dapat dirinci menjadi gangguan
berbicara akibat kelainan pada paru-paru (pulmonal),
pada pita suara (laringal), pada
lidah (lingual), dan pada rongga
mulut dan kerongkongan (resonantal).
1.
Gangguan
Akibat Faktor Pulmonal
Gangguan berbicara ini dialami oleh para
penderita penyakit paru-paru. Para penderita penyakit paru-paru ini kekuatan
bernapasnya sangat kurang, sehingga cara berbicaranya diwarnai oleh nada yang
monoton, volume suara yang kecil sekali, dan terputus-putus, meskipun dari segi
semantik dan sintaksis tidak ada masalah.
2.
Gangguan
Akibat Faktor Laringal
Gangguan pada pita suara menyebabkan
suara yang dihasilkan menjadi serak atau hilang sama sekali. Gangguan berbicara
akibat faktor laringal ini ditandai oleh suara yang serak atau hilang, tanpa
kelainan semantik dan sintaksis. Artinya, dilihat dari segi semantik dan
sintaksis ucapannya bisa diterima.
3.
Gangguan
Akibat Faktor Lingual
Lidah yang sariawan atau terluka akan
terasa pedih kalau digerakkan. Untuk mencegah timbulnya rasa pedih ini ketika
berbicara maka gerak aktivitas lidah itu dikurangi secara semaunya. Dalam
keadaan seperti ini maka pengucapan sejumlah fonem menjadi tidak sempurna,
sehingga misalnya, kalimat “Sudah barang tentu dia akan menyangkal” mungkin
akan diucapkan menjadi “Hu ah ba-ang ke-ku ia a-an meangkay”.
Pada orang yang terkena stroke dan badannya lumpuh sebelah, maka
lidahnya pun lumpuh sebelah. Oleh karena itu, cara berbicaranya juga akan
terganggu, yaitu menjadi pelo atau cadel. Istilah medisnya disatria (yang berarti terganggunya
artikulasi). Gejala terkena stroke banyak
dikenali dari kepeloan ini.
4.
Gangguan
Akibat Faktor Resonansi
Gangguan akibat faktor resonansi ini
menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi bersengau. Pada orang sumbing,
misalnya, suaranya menjadi bersengau (bindeng) karena rongga mulut dan rongga
hidung yang digunakan untuk berkomunikasi melalui defek di langit-langit keras
(palatum), sehingga resonansi yang
seharusnya menjadi terganggu. Hal ini terjadi juga pada orang yang mengalami
kelumpuhan pada langit-langit lunak (velum). Rongga langit-langit itu tidak
memberikan resonansi yang seharusnya, sehingga suaranya menjadi bersengau.
Penderita penyakit miastena gravis
(gangguan yang menyebabkan otot menjadi lemah dan cepat lelah) sering dikenali
secara langsung karena kesengauan ini.
b.
Gangguan Akibat
Multifaktorial
Akibat gangguan multifaktorial atau
berbagai faktor bisa menyebabkan terjadinya berbagai gangguan berbicara. Antara
lain adalah berikut ini.
1.
Berbicara
Serampangan
Berbicara serampangan atau sembrono
adalah berbicara dengan cepat sekali, dengan artikulasi yang rusak, ditambah
dengan “menelan” sejumlah suku kata, singgah apa yang diucapkan sukar dipahami.
Dalam kehidupan sehari-hari kasus ini memang jarang dijumpai; tetapi di dalam
praktek kedokteran sering ditemui. Umpanya kalimat “Kemarin pagi saya sudah
beberapa kali kesini”. Berbicara serampangan ini karena kerusakan di serebelum atau bisa juga terjadi sehabis
terkena kelumpuhan ringan sebelah badan.
2.
Berbicara
Propulsif
Gangguan berbicara propulsif biasanya
terdapat pada para penderita penyakit parkinson
(kerusakan pada otak yang menyebabkan otot menjadi gemetar, kaku, dan
lemah). Para penderita penyakit ini biasanya bermasalah dalam melakukan
gerakan-gerakan mereka suka sekali memulai suatu gerakan. Namun, bila sudah
bergerak maka ia dapat terus menerus tanpa henti. Gerak yang laju terus itu
disebut propulsi. Pada waktu
berbicara ciri khas ini akan tampak pula. Artikulasi sangat terganggu karena
elastisitas otot lidah, otot wajah, dan
pita suara sebagian lenyap. Dalam pada itu volume suaranya kecil,
iramanya datar (monoton). Suaranya mula-mula tersendat-sendat, kemudian terus
menerus, dan akhirnya tersendat-sendat kembali. Oleh karena itu, cara berbicara
seperti ini disebut propulsif.
3.
Berbicara
Mutis (Mutisme)
Penderita gangguan mutisme ini tidak
berbicara sama sekali. Sebagian dari mereka mungkin masih dapat dianggap
membisu, yakni memang sengaja tidak mau berbicara. Mutisme ini sebenarnya bukan
hanya tidak dapat berkomunikasi secara verbal saja, tetapi juga tidak dapat
berkomunikasi secara visual maupun isyarat seperti dengan gerak gerik dan
sebagainya.
Dunia ilmiah sebenarnya belum datang
menjelaskan dengan tepat apa itu mutisme. Oleh karena itu, tak heran kalau kita
dapatkan berbagai teori dan anggapan dari berbagai pihak mutisme itu. Oleh
karena itu pula, setiap orang yang tidak dapat berkomunikasi verbal dinyatakan
sebagai mutistik. Dengan begitu seseorang yang membisu sebagai tindakan protes
nonverbal dapat dianggap menderita mutisme histerik, padahal sebenarnya
merupakan sindrom konversi histerik. Perwujudan histeria lain adalah mutisme
elektif karena membisunya itu ditujukan kepada orang-orang tertentu saja,
misalnya kepada gurunya atau pacarnya. Dewasa ini apa yang dulu dikenal sebagai
mutisme akinetik lebih dikenal sebagai locked-in
syndrome. Dalam hal ini, si penderita masih hidup karena jantung,
paru-paru, ginjal, hati, dan hampir semua organ masih berfungsi. Hanya gerakan
voluntar, pikiran, minat, keinginan, dan semua fungsi luhur lainnya sudah tidak
bekerja sama sekali. Mutisme lain yang tidak dapat disembuhkan disebut mutisme idiopatik, yakni mutisme yang
belum diketahui penyebabnya. Hanya baru diperkirakan mutisme ini mungkin suatu
keadaan jiwa yang terganggu sejak lahir (Sidharta, 1982).
Mutisme tidak bisa disamakan dengan orang
bisu, apalagi dengan bisu-tuli. Dalam hal kebisuan ini sebenarnya perlu
dibedakan adanya tiga macam penderita. Pertama,
orang yang bisu karena kerusakan atau kelainan alat artikulasi, sehingga dia
tidak bisa memproduksi ujaran-bahasa; tetapi alat dengarnya normal sehingga dia
dapat mendengar suara-bahasa orang lain. Kedua,
orang yang bisu karena kerusakan atau kelainan alat artikulasi dan alat
pendengarnya, sehingga dia tidak dapat memproduksi ujaran-bahasa dan juga tidak
bisa mendengar ujaran-bahasa orang lain. Ketiga,
orang bisu yang sebenarnya alat artikulasinya normal tidak ada kelainan; tetapi
alat pendengarannya rusak atau ada kelainan. Orang golongan ketiga ini menjadi
bisu karena dia tidak mendengar ujaran-bahasa orang lain, sehingga dia tidak
bisa menirukan ujaran-bahasa itu.
Pasien golongan petama, yang alat
artikulasinya rusak atau mengalami kelainan, sedangkan alat dengarnya normal,
kalau fungsi hemisfer otak yang dominannya normal, masih akan dapat
berkomunikasi. Hanya tentunya, jika diajak bertutur dia akan menjawab atau
bertanya dalam bahasa isyarat, atau dalam bahasa tulis (jika dia sudah belajar
menulis).
Pasien golongan kedua yang bisu dan tuli
karena artikulasi dan alat pendengarannya rusak, kalau fungsi hemisfer otak
yang dominannya normal, masih akan dapat berkomunikasi dengan bahasa isyarat
atau dengan bahasa “membaca bibir”. Untuk dapat berkomunikasi itu tentunya
mereka memerlukan pendidikan dan pelatihan khusus yang memakan waktu banyak.
Pasien golongan ketiga yang menjadi bisu
karena kerusakan atau kelainan alat dengarnya, kalau fungsi hemisfer otak yang
dominannya normal, masih bisa dilatih untuk memproduksi ujaran-bahasa secara
tidak sempurna karena dia tidak bisa mendengar suara ujaran-bahasa itu.
Pelatihan dilakukan dengan cara dia disuruh memperhatikan, memegang, dan
merasakan “gerak mulut” pelatih bicaranya. Ini pun tentunya memerlukan waktu yang
cukup lama.
Ketiga golongan pasien kasus kebisuan
tidak berkaitan dengan fungsi otak. Hanya barangkali perkembangan fungsi otak
itu yang terganggu.
c.
Gangguan Psikogenik
Gangguan berbicara psikogenik ini
sebenarnya tidak bisa disebut sebagai suatu gangguan berbicara. Mungkin lebih
tepat disebut sebagai variasi cara berbicara yang normal, tetapi yang merupakan
ungkapan dari gangguan di bidang mental. Modalitas mental yang terungkap oleh
cara berbicara sebagian besar ditentukan oleh nada, intonasi, dan intensitas
suara, lafal, dan pilihan kata. Ujaran yang berirama lancar atau
tersendat-sendat dapat juga mencerminkan sikap mental si pembicara. Gangguan
berbicara psikogenik ini antara lain sebagai berikut.
1.
Berbicara
Manja
Disebut berbicara manja karena ada kesan
anak (orang) yang melakukan meminta perhatian untuk dimanja. Umpamanya,
kanak-kanak yang baru terjatuh, terluka, atau mendapat kecelakaan, terdengar
adanya perubahan pada cara berbicaranya. Fonem atau bunyi [s] dilafalkan
sebagai bunyi [c] sehingga kalimat “Saya sakit, jadi tidak suka makan, sudah
saja, ya” akan diucapkan menjadi “Caya cakit, jadi tidak cuka makan, cudah,
ya”. Dengan berbicara demikian dia mengungkapkan keinginannya untuk dimanja.
Gejala seperti ini kita dapati juga pada orang tua pikun atau jompo (biasanya
wanita). Gejala ini memberikan kesan bahwa struktur bahasa memiliki substrat serebal. Namun, bagaimana
struktur organisasinya belum diketahui dengan jelas. Masih dalam penelitian.
2.
Berbicara
Kemayu
Berbicara kemayu (istilah dari Sidharta,
1989) berkaitan dengan perangai kewanitaan yang berlebihan. Jika seorang pria
bersifat atau bertingkah laku kemayu jelas sekali gambaran yang dimasudkan oleh
istilah tersebut. Berbicara kemayu dicirikan oleh gerak bibir dan lidah yang
menarik perhatian dan lafal yang dilakukan secara ekstra menonjol atau ekstra
menonjol atau ekstra lemah gemulai dan ekstra memanjang (Inggris: lips; Belanda: lispelen). Meskipun berbicara seperti ini bukan suatu gangguan
ekspresi bahasa, tetapi dapat dipandang sebagai sindrom fonologik yang mengungkapkan gangguan identitas kelamin
terutama jika yang dilanda adalah kaum pria.
3.
Berbicara
Gagap
Gagap adalah berbicara yang kacau karena
sering tersendat-sendat, mendadak berhenti, lalu mengulang-ulang suku kata
pertama, kata-kata berikutnya, dan setelah berhasil mengucapkan kata-kata itu
kalimat dapat diselesaikan. Acapkali si pembicara tidak berhasil mengucapkan
suku kata awal, hanya dengan susah payah berhasil mengucapkan konsonan atau
vokal awalnya saja. Lalu dia memilih kata lain, dan berhasil menyelesaikan
kalimat tersebut meskipun dengan susah payah juga. Dalam usahanya mengucapkan
kata pertama yang barangkali gagal, si pembicara menampakkan rasa letih dan
rasa kecewanya.
Apa yang menyebabkan terjadinya gagap ini
belum diketahui secara tuntas. Namun, hal-hal berikut dianggap mempunyai
peranan dalam menyebabkan terjadinya kegagapan itu.
- Faktor-faktor “stres” dalam
kehidupan berkeluarga.
- Pendidikan anak yang dilakukan
secara keras dan ketat, dengan membentak-bentak; serta tidak mengizinkan
anak berargumentasi dan membantah.
- Adanya kerusakan pada belahan otak
(hemisfer) yang dominan.
- Faktor neurotik famial.
4.
Berbicara
Latah
Latah sering disamakan dengan ekolalla, yaitu perbuatan membeo, atau
menirukan apa yang dikatakan orang lain; tetapi sebenarnya latah adalah suatu
sindrom yang terdiri atas curah verbal
repititif yang bersifat jorok (koprolalla)
dan gangguan lokomotorik yang dapat dipancing. Koprolalla pada latah ini
berorientasi pada alat kelamin laki-laki. Yang sering dihinggapi penyakit latah
orang perempuan berumur 40 tahun ke atas. Awal mula timbulnya latah ini, menurut mereka yang terserang latah;
adalah setelah bermimpi melihat banyak sekali penis lelaki sebesar dan
sepanjang belut. Latah ini punya korelasi dengan kepribadian histeris.
Kelatahan ini merupakan “excuse” atau alasan untuk dapat berbicara dan
bertingkah laku porno, yang pada hakikatnya berimplikasi invitasi seksual
(lihat juga W.F Maramis, 1998 : 416 – 418)
2. Gangguan Berbahasa
Berbahasa
berarti berkomunikasi dengan menggunakan suatu bahasa. Bagaimana kemapuan
berbahasa dikuasai manusia, berkaitan erat dan sejalan dengan perkembangan
manusia yang baru lahir itu. Kanak-kanak yang lahir dengan alat artikulasi dan
auditori yang normal akan dapat mendengar kata-kata dengan telinganya dengan
baik dan juga akan dapat menirukan kata-kata itu. Pada mulanya ucapan tiruanya
itu Cuma mirip, tetapi lambat laun akan menjadi tegas dan jelas. Proses memproduksi
kata-kata itu berlangsung terus sejalan dengan proses pengembangan pengenalan
dan pengertian(gnosis dan kognisis). Dalam perkembangan itu
kata-kata akan menjadi perkataan yang merupakan abtraksi atau kata-kata yang
mengandung makna. Umpamanya, kata ayam menjadi
simbol dari binatang berkaki dua yang bersayap, tetapi tidak terbang seperti
burung. Dia hidup dan berjalan di atas bumi seperti anjing, tetapi tidak
menggongong, melainkan berkokok. Setingkat lebih maju lagi kemudian kata ayam diasosiasikan dengan jenis,
kegunaan, kualitas, dan sebagainya. Dengan demikian kemampuan untuk diferensi
antara ayam jantan dan betina, ayam kampung dan ayam negeri, daging ayam dan
daging sapi, sudah diperoleh. Proses belajar berbicara dan belajar bahasa
adalah proses selebral, yang berarti proses ekspresi verbal dan komprehensi
auditorik itu dilakukan oleh sel-sel saraf di otak yang disebut neuron. Proses neuron di otak ini sangat
rumit sekali untuk dipahami. Barangkali kalau disederhanakan bisa kita
umpamakan dengan alat komputer yang dapat menyimpan (storage) semua masukan dalm bentuk sandi elektronik (coding), yang dapat diangkat kembali (recall) dari simpanan itu. Kemudian
alat komputer ini mengalihkan sandi itu dalam bentuk yang dapat dipahami oleh
dunia di luar komputer (decoding). Gudang
tempat menyimpan sandi ekspresi kata-kata di otak adalah di daerah Broca, sedangkan gudang tempat meyimpan
sandi komprehensi kata-kata adalah di daerah Wernicke.
Berbahasa,
seperti sudah disebutkan di atas, berarti komunikasi dengan menggunakan suatu
bahasa. Untuk dapat berbahasa diperlukan kemampuan mengeluarkan kata-kata. Ini
berarti, daerah Broca dan Wernicke harus
berfungsi dengan baik. Kerusakan pada daerah tersebut dan sekitarnya menyebabkan
terjadinya gangguan bahasa yang disebut afasia,
dalam hal ini Broca sendiri menamai afemia.
Perkembangan
gerakan voluntar pada otak yang pada mulanya bersifat kaku dan kasar, kemudian
menjadi luwes, ternyata tidak terjadi pada kedua belahan otak (hemisferium) secara sama. Mekanisme neuronal
yang mendasari penyempurnaan gerakan voluntar itu ternyata lebih lengkap dan
lebih rumit hanya pada salah satu belahan otak saja. Oleh karena itu,
terdapatlah orang-orang yang lebih mampu menggunakan anggota gerak yang sebelah
kiri dari sebelah kanan, atau sebaliknya. Maka terdapatlah orang yang kidal dan
tidak kidal. Belahan otak (hemisferium) yang memiliki organisasi neuronal yang
lebih sempurna itu dikenal sebagai hemisferium
yang dominan. Dalam pertumbuhan dan perkembangan otak terbentuk daerah broca
dan Wernicke terjadi pada hemisferium yang dominan. Pada orang kidal
hemisferium kananlah yang dominan, dan pada orang yang tidak kidal, hemisferium
kirilah yang dominan.
Kajian
tentang afasiologi dalam perkembanganya menghasilkan berbagai taksonomi yang
sangat membingungkan seperti yang dibuat oleh Benson (1975), Rapin (neurolog
kanak-kanak), dan Allen (psikolinguis) (Rapin dan Allen, 1998); tetapi
taksonomi yang telah disederhanakan oleh Benson, afasia ini dibedakan atas afasia ekspresi atau afasia motorik, yang dulu dikenal
sebagai afasia tipe Broca, dan Iafasia reseptif atau afasia sensorik yang dulu dikenal sebagai afasia Wernicke.
a. Afasia Motorik
Kerusakan
pada belahan otak yang dominan yang menyebabkan terjadinya afasia motorik bisa terletak pada lapisan permukaan (leksikortikal)
daerah Broca. Atau pada lapisan di bawah permukaan (lesi subkortikal) daerah
Broca atau juga daerah otak antara daerah Broca dan daerah Wernicke (lesi trans
kortikal). Oleh karena itu, didapati adanya tiga macam afasia motorik.
1.
Afasia Motorik Kortikal
Tempat
menyimpan sndi-sandi perkataan adalah di korteks daerah Broca. Maka apabila
gudang penyimpanan itu musnah, tidak akan ada lagi perkataan yang dapat
dikeluarkan . jadi, afasia motorik kortikal berarti hilangnya kemampuan untuk
mengutarakan isi pikiran dengan menggunakan perkataan. Penderita afasia motorik
kortikal ini masih bisa mengerti bahasa lisan dan bahasa tulisan. Namun,
ekspresi verbal tidak bisa sama sekali; sedangkan ekspresi visual (bahasa tulis
dan bahsa isyarat) masih bisa dilakukan.
2.
Afasia Motorik Subkartikal
Sandi-sandi perkataan
disimpan di lapisan permukaan (korteks) daerah Broca, maka apabila kerusakan
terjadi pada bagian bawahnya (subkortikal) semua perkataan masih tersimpan utuh
di dalam gudang. Namun, perkataan itu tidak dapat dikeluarkan karena hubungan
terputus, sehingga perintah untuk mengeluarkan perkataan tidak dapat
disampaikan. Melalui jalur lain tampaknya perintah untuk mengeluarkan perkataan
masih dapat disampaikan ke gudang penyimpanan perkataan itu (gudang Broca)
sehingga ekspresi verbal masih mungkin dengan pancingan. Jadi, penderita afasia
motorik subkortikal tidak dapat mengeluarkan isi pikiranya dengan menggunakan
perkataan; tetapi masih bisa mengeluarkan perkataan dengan cara membeo. Selain
itu, pengertian bahasa verbal dan visual tidak terganggu, dan ekspresi visual
pun terjadi.
3.
Afasia Motorik Transkortikal
Afasia
Motorik Transkortikal terjadi karena terganggunya hubungan antara daerah Broca
dan Wernicke. Ini berarti, hubungan langsung antara pengertian dan ekspresi
bahasa terganggu. Pada umumnya afasia motorik transkortikal ini merupakan
leksikortikal yang merusak sebagaian daerah Broca. Jadi, penderita afasia
motorik transkortikal dapat mengutarakan perkataan yang singkat dan tepat;
tetapi masih mungkin menggunakan perkataan substitusinya. Misalnya untuk
mengatakan “Pensil” sebagai jawaban atas pertanyaan “Barang yang saya pegang
ini namanya apa?” Dia tidak mampu mengeluarkan perkataan itu. Namun, mampu untuk
mengeluarkan perkataan “Itu, tu, tu, tu, untuk menulis.” Afasia jenis ini
disebut juga afasia nominatif.
b. Afasia Sensorik
Penyebab
terjadinya afasia sensorik adalah akibat dari adnya kerusakan pada
leksikortikal daerah Wernicke pada hemisferium yang dominan. Daerah itu
terletak di kawasan asosiatif antara daerah visual, daerah sensorik, daerah
motorik, dan daerah pendengaran. Kerusakan di daerah Wernicke ini menyebabkan
bukan saja apa yang didengar (pengertian auditorik) terganggu. Jadi, penderita
afasia sensorik kehilangan pengertian bahasa lisan dan tulis. Namun, dia masih
memiliki curah verbal meskipun hal itu tidak dipahami oleh dirinya sendiri
maupun oleh orang lain.
Curah
verbalnya itu merupakan bahasa baru (neologisme) yang tidak dipahami oleh siapapun.
Curah verbalnya itu dari kata-kata, ada yang mirip, ada yang tepat dengan
perkataan suatu bahasa; tetapi kebanyakan tidak sama atau sesuai dengan
perkataan bahasa apa pun.
Neologismenya
itu diucapkan denga irama, nada, dan melodi yang sesuai bahasa asing yang ada.
Sikap merekapun wajar-wajar saja, seakan-akan dia berdialog dalam bahsa yang
saling dimengerti. Dia bersikap biasa, tidak tegang, tidak marah, atau
depresif. Sesungguhnya apa yang diucapkan maupun apa yang didengarnya (bahasa
verbal yang normal), keduanya sama sekali tidak dipahaminya.
3.
Gangguan Berpikir
Dalam
sosiolinguistik ada dikatakan bahwa setiap orang mempunyai kecenderungan untuk
menggunakan perkataan-perkataan yang disukainya sehingga corak bahasanya adalah
khas bagi dirinya. Hal ini dalam sosiolinguistik disebut idiolek, atau ragam
bahsa perseorangan (Chaer dan Agustina, 1995)
Dalam
memilih dan menggunakan unsur leksikal, sintaksis dan semantik tertentu
seseorang menyiratkan afeksi dan nilai pribadinya pada kata-kata dan
kalimat-kalimat yang dibuatanya. Hal ini berarti, setiap orang memproyeksikan
kepribadianya pada gaya bahasanya. Lalu kalau diingat bahwa ekspresi verbal
merupakan pengutaraan isi pikiran, maka
yang tyersirat pada gaya bahasa tertentu adalah pikiran itu. Oleh karena itu,
bisa disimpulkan bahwa ekspresi verbal yang terganggu bersumber atau disebabkan
oleh pikiran yang terganggu. Gangguan ekspresi verbal sebagai akibat dari gangguan
pikiran dapat berupa hal-hal berikut.
a. Pikun (Demensia)
Orang
yang pikun menunjukan banyak sekali gangguan seperti agnosia, apraksia, amnesia, perubahan kepribadian, perubahan
perilaku, dan kemunduran dalam segala hal fungsi intelektual. Semua gangguan
itu menyebabkan kurangnya berpikir, sehingga ekspresi verbalnya diwarnai dengan
kesukaran menemukan kata-kata yang tepat. Kalimat seringkali diulang-ulang. Apa
yang sudah dikatakan diulang lagi. Pembicaraan sering terputus karena arah
pembicaraan tidak teringat atau tidak diketahui lagi, sehingga berpindah ke
topik lain.
Dr.
Martina Wiwie S. Nasrun (Media Indonesia,
21 Mei 2001) mengatakan bahwa kepikunan atau demensia adalah suatu
penurunan fungsi memori atau daya ingat dan daya pikir lainnya yang dari hari
ke hari semakin buruk. Gangguan kognitif ini meliputi terganggunya ingata
jangka pendek, kekeliruan mengenali tempat, orang, dan waktu. Juga gangguan
kelancaran berbicara.
Penyebab
pikun ini antara lain karena terganggunya fungsi otak dalam jumlah besar,
termasuk menurunnya jumlah zat-zat kimia dalam otak. Biasanya volume otak akan
mengecil dan menyusut, sehingga rongga-rongga dalam otak melebar. Selain itu
dapat pula disebabkan oleh penyakit seperti stroke,
tumor otak, depresi, dan gangguan sistematik. Pikun yang disebabkan oleh
depresi dan gangguan sistematik dapat pulih kembali; tetapi kebanyakan kasus
demensia lainnya tidak dapat kembali pada kondisi sebelumnya.
Selanjutnya,
Dr. Martina menjelaskan, hal pertama yang harus dilakukan untuk mengobati
demensia adalah mencari tahu penyebab gangguan perilaku tersebut. Apakah karena
adanya nyeri fisik akibat luka atau ada hubunganya dengan depresi.
Penanggulangan gangguan perilaku pada demensia dapat dilakukan melalui metode
non-obat ataupun dengan obat. Tetapi non obat dilakukan sebelum terapi obat.
Jika masalah yang dihadapi tidak berat, terapi non-obat dapat memproses
penyembuhan.
b. Sisofrenik
Sisofrenik
adalah gangguan berbahasa akibat gangguan berpikir. Dulu pada para penderita sisofronik kronik juga dikenal istilah schizophrenik word salad. Para penderita
ini dapat mengucapkan word-salad ini
dengan lancar, dengan volume yang cukup, ataupun lemah sekali. Curah verbalnya
penuh dengan kata-kata neologisme. Irama serta intonasinya menghasilkan curah
verbal yang melodis.
Seorang
penderita sisofrenia dapat berbicara terus menerus. Ocehanya hanya merupakan
ulangan curah verbal semula dengan tambahan sedikit-sedikit atau dikurangi
beberapa kalimat. Gaya bahasa sisofren dapat dibedakan dalam beberapa tahap dan
menurut berbagai kriteria. Yang utama adalah diferensiasi dalam gaya bahasa
sisofrenia halusinasi dan pasca-halusinasi.
Sebelum
diganggu halusinasi (biasanya halusinasi auditorik), bahasa para penderita
sisofrenik ini tampak terganggu. Pada tahap awal penderita sisofrenia ini
mengisolasi pikiranya. Tidak banyak berkomunikasi dengan dunia luar, tetapi
banyak berdialog dengan diri sendiri. Ekspresi verbal terbatas, tetapi kegiatan
dalam dunia bahasa internal (bahasa dalam pikiran diri sendiri) sangat ramai.
Oleh karena itu, gangguan ekspresi verbal sisofrenia tahap awal ini menyerupai
mutisme elektif. Pada tahap prahalusinasi ini gaya bahasa verbaldan tulisannya
dicoraki dengan penggunaan kata ganti “aku” yang berlebihan. Lalu dia mengalami
kesulitan dalam mencari kosa kata yang tepat. Pada tahap berikutnya, penderita
mendeteksi bahwa kata-kata yang tidak hendak digunakan justru secara tidak sengaja digunakan. Gangguan
ekspresi verbal itu membuat pasien lebih menarik diri dari pergaulan, sehingga
ekspresi verbal menjadi sangat terbatas atau jarang. Begitu halusinasi
auditorik melandanya yang terganggu sesungguhnya bukan gaya bahasanya,
melainkan makna curah verbalnya yang abnormal. Apa yang dibicarakan atau
dikeluhkan memiliki hubungan dengan halusinasinya.
c. Depresif
Orang
yang tertekan dirinya memproyeksikan penderitaannya pada gaya bahasanya dan
curah verbalnya. Volume curah verbalnya lemah lembut dan kelancaran
terputus-putus oleh interval yang cukup panjang. Namun, arah arus isi pikiran
tidak terganggu. Kelancaran bicaranya terputus oleh tarikan napas dalam, serta
pelepasan napas keluar yang panjang. Perangi emosional yang terasosiasi dengan
depresi itu adalah universal. Curah verbal yang depresif dicoraki oleh topik
yang menyedihkan, menyalahi dan mengutuk diri sendiri, kehilangan gairah
bekerja dan gairah hidup, tidak mampu menikmati kehidupan. Malah cenderung
mengakhirinya.
4.
Gangguan Lingkungan Sosial
Yang
dimaksud dengan akibat faktor lingkungan adalah terasingnya seorang anak
manusia, yang aspek biologis bahasanya normal dari lingkungan kehidupan
manusia. Keterasingannya bisa disebabkan karena diperlakukan secara sengaja
(sebagai eksperimen) bisa juga karena hidup bukan dalam alam lingkungan
manusia, melainkan dipelihara oleh binatang serigala, seperti kasus Kamala dan
Mougli (Chauchard, 1983: 68-69).
Anak
terasing tidak sama dengan kasus anak tuli seperti yang dibicarakan pada subbab
terdahulu . anak tuli masih hidup dalam masyarakat manusia. Maka, meskipun dia
terasing dari kontak bahasa, tetapi dia masih dapat berkomunikasi dengan orang
disekitarnya. Sedangkan anak terasing menjadi tidak bisa berkomunikasi dengan
manusia karena dia tidak pernah mendengar suara-ujaran manusia.beda dengan anak
terasing yang tidak pernah mendengar suara orang dan anak tuli adalah bahwa
anak tuli dirugikan karena tidak bisa mendengar suaranya sendiri maupun suara
orang lain. Suara-suaranya sendiri hanya bisa dirasakan sebagai gerak-gerak
urat dan otot daging mulut. Suara anak tuli tidak seberapa kuat jika dibandingkan
dengan suara anak yang tidak tuli. Suara-suara anak tuli lekas sekali berhenti,
meskipun dia mampu merasakan gerakan mulut dan suara-suaranya waktu
mengeluarkan suara itu. Dia merasakan gerak mulut itu karena adanya rasa akan
getaran-getaran organ-organ pembentuk
suara, atau dia melihat gerak mulut orang lain dan lalu dia menirukannya. Pada
anak tuli ini tidak ada cukup motivasi agar suara-suaranya bisa berkembang. Hal
ini berbeda dengan anak normal (tidak tuli) yang tercerai dari masyarakat. Dia
dapat mengeluarkan suaranya, tetapi dia tidak pernah mendengar suara
(perkataan) orang lain dari sekelilingnya; padahal suara (perkataan) orang lain
dari sekeliling anak itu sangat berperan dalam mengembangkan kemampuan
berbicara. Tanpa mendengar suara-bahasa orang sekeliling tidak mungkin
kemampuan berbahasa dapat berkembang.
Jadi,
anak terasing karena tidak ada orang yang mengajak dan diajak berbicara, tidak
mungkin dapat berbahasa. Karena dia sama sekali terasing dari kehidupan sosial
masyarakat, maka dengan cepat ia menjadi sama sekali tak dapat berbahasa.
Otaknya menjadi tidak lagi berfungsi secara manusiawi karena tidak ada yang
membuatnya atau memungkinkannya berfungsi demikian. Maka sebenarnya anak
terasing, yang tidak punya kontak dengan manusia, bukan lagi manusia, sebab
manusia pada hakikatnya mahkluk sosial. Meskipun bentuk badanya manusia tetapi
dia tidak bermartabat sebagai manusia. Otaknya tidak berkembang sepenuhnya,
tidak dapat berfungsi dalam masyarakat manusia, dan akhirnya tidak mampu sebagai
manusia setelah beberapa tahun. Anak terasing tidak sama dengan orang primitif,
sebab orang primitif masih hidup dalam suatu masyarakat. Meskipun taraf
kebudayaan sangat rendah, tetapi tetap dalam suatu lingkungan sosial.
Kanak-kanak memiliki segala kemungkinan untuk menjadi manusia selama masih
kanak-kanak; selepas umur tujuh tahun anak itu tidak dapat dididik untuk
mempelajari kebudayaan yang lebih tinggi (Chauchard, 1983:68).
Dalam sejarah tercatat
sejumlah kasus anak terasing, baik yang diasuh oleh hewan (serigala) maupun
yang “terasingkan” oleh keluarganya. Berikut akan dikemukakan dua contoh kasus;
pertama kasus Kamalla, kanak-kanak perempuan yang sampai usia 8 tahun
dipelihara oleh serigala, dan kedua kasus Genie, kanak-kanak Amerika yang sejak
berusia 20 bulan dikucilkan di ruangan kecil dan gelap dengan kaki terikat.
a. Kasus Kamala
Kasus
adanya anak manusia yang dipelihara oleh serigala menurut catatan Zingg sejak
tahun 1344 telah ada 31 kasus (dalam Chauchard 1983: 68). Salah satu
diantaranya adalah Kamala dan adiknya, kanak-kanak perempuan India yang telah
ditemukan oleh seorang misionaris di Midnapore, India. Mungkinkah seorang anak
manusia dipelihara oleh serigala? Dari kasus Kamala dan kasus-kasus sebelumnya,
hal itu bisa saja terjadi. Apalagi di India, sebab di sana serigala betina
tidak seberapa buas dan sudah biasa hidup dengan manusia.
Ketika
baru ditemukan Kasmala diperkirakan berumur 8 tahun, dan adiknya berumur 2
tahun. Kamala masih bisa hidup sampai 9 tahun kemudian, sedangkan adiknya tak
lama setelah ditemukan meninggal. Karena hidup di tengah serigala, ia sangat
mirip dengan serigala. Ia berlari cepat sekali dengan kedua kaki dan tangannya;
mengaum-aum; lebih sering bergaul dengan serigala, tidak bercakap satu patah
kata pun; dan tidak terlihat adanya mimik emosi di wajahnya. Sangat sukar untuk
mengajaridia berdiri, berjalan, menggunakan tangan; apalagi bercakap-cakap
(sampai ia meninggal tak lebih dari 50 kata yang dapat dipelajarinya). Dia
mencium-cium, dan mengendus-endus makanan. Dia memeriksa segala sesuatu dengan
alat penciuman, mempunyai penglihatan malam yang tajam; dan memiliki
pendengaran yang tajam pula. Dia tidak tersenyum maupun tidak tertawa.
Demikianlah
hidup di tengah binatang yang membuat manusia
bukan manusia lagi. Namun, hal ini membuktikan kemapuan anak manusia
dapat menyelaraskan diri hidup dengan serigala secara mengagumkan. Berbeda hal
dengan binatang yang dijinakan dan “dimanusiakan”; binatang tetap tidak dapat
mempelajari bahasa manusia yang sebenarnya.
Bagaiaman
dengan kecerdasan Kamala? Sampai dia meninggal tingkat kecerdasannya tidak
pernah diketahui, sebab dia tidak pernah di tes dengan tes-tes objektif yang
memungkinkan kita mengetahi apakah kecerdasan praktis Kamala yang tak
terbahasankan itu lebih tinggi atau tidak dari kecerdasan seorang anak tidak
bercakap (berbicara karena bisu) atau dari seekor kera. Namun, bagaiamana pun
Kamala tidak dapat dibandingkan dengan kecerdasan manusia, karena Kamala tidak
lagi mempunyai bahasa batin. Jadi, tidak mempunyai pikiran yang sesungguhnya,
pikiran yang reflektif (Chauchard, 1983 :69).
b. Kasus Genie
Kalau
Kamala terasing dari masyarakat manusia, dan lalu dipelihara atau dibesarkan di
tengah-tengah serigala, maka Genie tetap berada dalam “asuhan” orang tuanya, tetapi
dengan cara yang terlepas dari kehidupan manusia yang wajar. Sejak berusia 20
bulan sampai 13 tahun 9 bulan Genie hidup terkucil dalam ruang yang sempit dan
gelap dalam posisi duduk dan kaki terikat. Pintu ruangan itu selalu ditutup dan
jendela berkelabu tebal. Tidak ada radio atau televisi di rumah itu, dan ayah
Genie membenci suara apa pun. Ayahnya tidak mengizinkannya mendengar suara apa
pun, dia akan dihukum secara fisik jika membuat suara. Satu-satunya orang yang
sering dijumpainya adalah ibunya. Namun, si ibu pun dilarang tinggal lama-lama
dengan Genie saat memberinya makan. Tanpa berbicara apa-apa si ibu memberi makan Genie dengan
tergesa-gesa.
Ketika
ditemukan pada tahun 1970, Genie berada dalam kondisi yang kurang terlibat
secara sosial, primitif, terganggu secara emosional, dan tak dapat berbahasa
(berbicara). Dia dikirim ke rumah anak-anak Los Angeles dengan diagnosis awal
sebagai anak yang menderita kurang gizi yang parah.
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Gangguan berbahasa dalam makalah ini
dibagi menjadi dua bagian:
1. Faktor medis adalah gangguan,
baik akibat kelainan fungsi otak maupun akibat kelainan alat-alat bicara.
Menurut Sidharta (1984) gangguan berbahasa itu dapat dibedakan atas tiga
golongan, yaitu:
a) Gangguan berbicara
Gangguan berbicara ini dapat tiga kategori.
i) Gangguan mekanisme berbicara
– Gangguan akibar faktor pulmonal.
– Gangguan Akibat Faktor Laringal.
– Gangguan Akibat Faktor Lingual.
– Gangguan akibat factor resonansi
ii) Gangguan berbicara psikogenik, antara lain:
– Berbicara manja
– Berbicara kemayu
– Berbicara gagap
– Berbicara latah
iii) Gangguan akibat multifaktorial. Gangguan yang timbul antara lain:
– Berbicara serampangan
– Berbicara propulsive
– Berbicara mutis
b) Ganguan berbahasa.
Kerusakan pada daerah Broca dan
sekitarnya menyebabkan terjadinya gangguan bahasa yang disebut afasia. Berikut
adalah jenis-jenis afasia.
– Afasia motorik kortikal
– Afasia motorik subkortikal
– Afasia motorik transkortikal
– Afasia sensorik
c) Gangguan berpikir.
Ganguan ekspresi verbal sebagai
akibat dari gangguan pikiran dapat berupa :
– Pikun
– Sisofernik
– Depresif
2. Faktor lingkungan sosial
Adalah keterasingan seorang anak,
secara aspek biologis seorang anak tersebut bisa berbahasa normal. Akan tetapi
keterasingannya disebabkan karena diperlakukan dengan sengaja (sebagai
eksperimen) bisa juga karena hidup bukan dalam alam lingkungan manusia,
melainkan dipelihara oleh sesuatu yang lain.
Anak terasing karena tidak ada orang yang mengajak dan diajak berbicara, tidak
mungkin dapat berbahasa. Karena dia sama sekali terasing dari kehidupan manusia
dan sosial masyarakat. Maka, sebenarnya anak terasing yang tidak punya kontak
dengan manusia bukanlah lagi manusia, sebab manusia pada hakikatnya adalah
makhluk sosial. Otaknya tidak berkembang sepenuhnya, tidak dapat berfungsi
dalam masyarakat manusia, dan akhirnya menjadi tidak mampu menjadi manusia
normal setelah beberapa tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul, 2009, Psikolinguistik
Kajian Teoritik, Jakarta; PT Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik:
Kajian Teoritik. Jakarta: PT. Asdi Mahasatya.
Abdurrachman dkk. 2009. Gangguan
Berbahasa.
Komentar
Posting Komentar