Penalaran Deduktif (Rasionalisme/Logika Minor)
|
Jendela Dunia |
Penalaran Deduktif adalah suatu kerangka atau
cara berfikir yang bertolak dari sebuah asumsi atau pernyataan yang bersifat
umum untuk mencapai sebuah kesimpulan yang bermakna lebih khusus. Ia sering
pula diartikan dengan istilah logika minor, dikarenakan memperdalami
dasar-dasar pensesuaian dalam pemikiran dengan hukum, rumus dan patokan-patokan
tertentu.58 Pola penarikan kesimpulan dalam metode deduktif merujuk pada pola
berfikir yang disebut silogisme. Yaitu bermula dari dua pernyataan atau lebih
dengan sebuah kesimpulan. Yang mana kedua pernyataan tersebut sering disebut
sebagai premis minor dan premis mayor. Serta selalu diikuti oleh penyimpulan
yang diperoleh melalui penalaran dari kedua premis tersebut. Namun kesimpulan
di sini hanya bernilai benar jika kedua premis dan cara yang digunakan juga
benar, serta hasilnya juga menunjukkan koherensi data tersebut.59 Contoh dari
penggunaan premis dalam deduksi: Premis Mayor: Perbuatan yang merugikan orang
lain adalah dosa. Premis Minor: Menipu merugikan orang lain. Kesimpulan: Menipu
adalah dosa. Selain itu, matematika sebagai salah satu disiplin keilmuanyang
yang menerapkan prinsip koherensi di dalam pembuktian kebenarannya.
Penalaran deduktif merupakan salah satu cara
berfikir logis dan analistik, yang tumbuh dan berkembang dengan adanya
pengamatan yang semakin intens, sistematis, dan kritis. Juga didukung oleh
pertambahan pengetahuan yang diperoleh manusia, yang akhirnya akan bermuara
pada suatu usaha untuk menjawab permasalahan secara rasional sehingga dapat
dipertanggung jawabkan kandungannya, tentunya dengan mengesampingkan hal-hal
yang irasional. Adapun penyelesaian masalah secara rasional bermakna adanya
tumpuan pada rasio manusia dalam usaha memperoleh pengetahuan yang benar. Dan
paham yang mendasarkan dirinya pada proses tersebut dikenal dengan istilah
paham rasionalisme. Metode deduktif dan paham ini saling memiliki keterikatan
yang saling mewarnai, karena dalam menyusun logika suatu pengetahuan para
ilmuan rasionalis cenderung menggunakan penalaran deduktif.
Lebih jauh lagi deduksi sering lahir
dari sebuah persangkaan mayoritas orang. Sehingga hampir bisa dikatakan bahwa
setiap keputusan adalah deduksi, Dan setiap deduksi diambil dari suatu
generalisasi yang berupa generalisasi induktif yang berdasar hal-hal khusus
yang diamati. Generalisasi ini terjadi karena adanya kesalahan dalam penafsiran
terhadap bukti yang ada. Generalisasi induktif sering terjadi dari banyaknya
tumpuan pada pengamatan terhadap hal-hal khusus yang kenyataanya tidak
demikian. seperti halnya kesalahan dokter dalam mendiagnosis penyakit pasien,
hal ini terjadi karena tanda-tandanya sama namun bisa jadi ada penyakit lain
dengan tanda-tanda seperti itu, ataupun kasus polisi yang menyelidiki barang
bukti di tempat tindakan kriminal.
Ada beberapa teori yang sering
dikaitkan dengan penalaran deduktif. Di antaranya “teori koherensi”,
serta “teori kebenaran pragmatis.” Hal yang disebut terakhir merupakan
sebuah proses pembuktian secara empiris dalam bentuk pengumpulan fakta-fakta real
yang mendukung semua pernyataan sebelumnya. Adapun pencetus teori ini
adalah Charles S. Pierce dalam sebuah makalah dengan judul “how to make our
ideas clear?” yang terbit pada tahun 1878. Bagi seorang penggiat
pragmatisme, kebenaran suatu pernyataan diukur dengan ada tidaknya fungsional
hal tersebut dalam kehidupan praktis. Dengan kata lain, sebuah pernyataan
bernilai benar jika berkonsekuensi dengan adanya kegunaan praktis dalam
kehidupan manusia.61 Sehingga penalaran deduktif juga sering diartikan sebagai sebuah
metode eksperimen.
Kelebihan model ini adalah terletak pada faktor
kebutuhan fokus yang intens dalam menganalisa suatu pengertian dari segi
materinya, sehingga penggunaan waktu bisa lebih efisien. Bahkan dari segi lain
keterampilan yang digunakan bisa tersusun lebih rapi, hal ini bisa terjadi
karena poin-poin yang ingin dicapai sudah jelas. Terlebih pendekatan ini sesuai
untuk digunakan dalam proses pembelajaran, seperti halnya guru memberikan
penerangan sebelum memulai pembelajaran. Selain itu pada deduksi, kesimpulannya
merupakan suatu konsekuensi logis dari premis-premisnya. Sehingga pada suatu
penalaran yang baik, kesimpulan dapat menjadi benar manakala premis-premisnya
benar. Adapun kelemahannya terletak pada aktifitas penarikan kesimpulan yang dibatasi
pada ruang lingkup tertentu. Serta jika salah satu dari kedua premisnya, atau
bahkan keduanya salah maka kesimpulan yang didapat berdasarkan premis tersebut
akan salah pula. Kelemahan lainnya adalah kesimpulan yang diambil berdasarkan
logika deduktif tak mungkin lebih luas dari premis awalnya, sehingga sulit
diperoleh kemajuan ilmu pengetahuan jika hanya mengandalkan logika deduktif.
Selain itu manakala argumennya diuji kebenarannya, maka yang mungkin teruji
hanya bentuk atau pola penalarannya tapi bukan materi premisnya, jadi benar
salahnya premis tersebut tidak dapat diuji.
Penalaran Induktif (Empirisme/Logika Mayor)
Penalaran induktif adalah cara
berfikir untuk menarik kesimpulan dari pengamatan terhadap hal yang bersifat
partikular kedalam gejala-gejala yang bersifat umum atau universal. Sehingga
dapat dikatakan bahwa penalaran ini bertolak dari kenyataan yang bersifat
terbatas dan khusus lalu diakhiri dengan statemen yang bersifat komplek dan
umum.62 Generalisasi adalah salah satu ciri yang paling khas dalam metode
induksi. Hanya saja, generalisasi di sini tidak berarti dengan mudahnya suatu
proposisi yang diangkat dari suatu individu dibawa untuk digeneralisasikan
terhadap suatu komunitas yang lebih luas. Justru, melalui metode ini, diberikan
suatu kemungkinan untuk disimpulkan. Dalam artian, bahwa ada kemungkinan
kesimpulan itu benar tapi tidak berarti bahwa itu pasti benar, sehingga
akhirnya disinilah lahir probabilitas.
Penalaran model ini dipublikasikan secara massive
oleh Francis Bacon (1561-1626), Bacon yang merasa tidak puas dengan
penalaran deduktif, merasa kecewa kenapa, misalnya masalah jumlah gigi kuda
saja harus berdebat habis-habisan, bukannya dengan menggunakan logika induktif
pemecahannya sangat mudah? buka saja mulut-mulut kuda lalu dihitung jumlah
giginya. Dalam satu sisi, walaupun Bacon dianggap sebagai pencetus penalaran
ini namun pada hakekatnya telah berhutang budi pada sarjana muslim yang telah
mengenalkan metode ini, dalam kurun waktu antara abad 9-12 masehi. H.G. Wells
menyimpulkan bahwa semangat pencarian kebenaran ini dimulai oleh para pemikir
Yunani, dan kembali dikobarkan oleh pemikir Muslim. Sehingga estafet penalaran
ini dimulai dari pemikir Yunani, disesuaikan oleh Muslim, dan ditiru oleh
Bacon. Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, induksi merupakan sebuah cara
berfikir yang memiliki andil besar dalam perkembangan peradaban manusia. Maka
dari itu setiap pola berfikir memiliki identitasnya masing-masing.
Ciri khas dari penalaran induktif adalah
generalisasi. Generalisasi dapat dilakukan dengan dua metode yang berbeda. Pertama,
yang dikenal dengan istilah induksi lengkap, yaitu generalisasi yang
dilakukan dengan diawali hal-hal partikular yang mencakup keseluruhan jumlah
dari suatu peristiwa yang diteliti. Seperti dalam kasus: penelitian bahwa di
depan setiap rumah di desa ada pohon kelapa, kemudian digeneralisasikan dengan
pernyataan umum “setiap rumah di desa memiliki pohon kelapa.” Maka generalisasi
macam ini tidak bisa diperdebatkan dan tidak pula ragukan.
Kedua, yang dilakukan dengan hanya sebagian hal
partikular, atau bahkan dengan hanya sebuah hal khusus. Poin kedua inilah yang
biasa disebut dengan induksi tidak lengkap. Dalam penalaran induksi atau
penelitian ilmiah sering kali tidak memungkinkan menerapkan induksi lengkap,
oleh karena itu yang lazim digunakan adalah induksi tidak lengkap. Induksi
lengkap dicapai manakala seluruh kejadian atau premis awalnya telah diteliti
dan diamati secara mendalam. Namun jika tidak semua premis itu diamati dengan
teliti, atau ada yang terlewatkan dan terlanjur sudah diambil suatu kesimpulan
umum, maka diperolehlah induksi tidak lengkap. Bahkan manakala seseorang seusai
mengamati hal-hal partikular kemudian mengeneralisasikannya, maka sadar atau
tidak, ia telah menggunakan induksi. Generalisasi di sini mungkin benar mungkin
pula salah, namun yang lebih perlu dicermati adalah agar tidak terjadi sebuah
kecerobohan generalisasi. Misalnya “sarjana luar negeri lebih berkualitas
daripada sarjana dalam negeri.” Jenis induksi tidak lengkap inilah yang sering
kita dapati. Alasanya sederhana, keterbatasan manusia.
Induksi sering pula diartikan dengan istilah
logika mayor, karena membahas pensesuaian pemikiran dengan dunia empiris, ia
menguji hasil usaha logika formal (deduktif), dengan membandingkannya dengan
kenyataan empiris. Sehingga penganut paham empirme yang lebih sering
mengembangkan pengetahuan bertolak dari pengalaman konkrit. Yang akhirnya
mereka beranggapan satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang diperoleh
langsung dari pengalaman nyata. Dengan demikian secara tidak langsung penggiat
aliran inilah yang sering menggunakan penalaran induktif. Karena Penalaran ini
lebih banyak berpijak pada observasi indrawi atau empiris. Dengan kata lain
penalaran induktif adalah proses penarikan kesimpulan dari kasus-kasus yang
bersifat individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Inilah alasan
atas eratnya ikatan antara logika induktif dengan istilah generalisasi, serta
empirisme.
Penarikan kesimpulan secara induktif
menghadapkan kita kepada suatu dilema tersendiri, yaitu banyaknya kasus yang
harus diamati sampai mengerucut pada suatu kesimpulan yang general.
Sebagai contohnya jika kita ingin mengetahui berapa rata-rata tinggi badan anak
umur 9 tahun di Indonesia tentu cara paling logis adalah dengan mengukur tinggi
seluruh anak umur 9 tahun di Indonesia. Proses tersebut tentu akan memberikan
kesimpulan yang dapat dipertanggung jawabkan namun pelaksanaan dari proses ini
sendiri sudah menjadi dilema yang tidak mudah untuk ditanggulangi.
Di samping itu, guna menghindari kesalahan yang
disebabkan karena generalisasi yang terburu, Bacon menawarkan empat macam idola
atau godaan dalam berfikir: Pertama, idola tribus, yaitu menarik
kesimpulan, tanpa dasar yang cukup. Artinya, kesimpulan diperoleh darik
pengamatan yang kurang mendalam, dan memadai, sehingga ia diambil dari
penelitian yang masih dangkal. Kedua, idola spesus, yakni,
kesimpulan yang dihasilkan bukan berdasarkan pengamatan yang cukup, namun lebih
sebagai hasil dari prasangka belaka. Ketiga, idola fori, poin ketiga ini
cukup menarik, karena kesimpulan lahir hanya sebatas mengikuti anggapan ataupun
opini public secara umum. Dan terakhir, idola theari, anggapan bahwa
dunia ini hanyalah sebatas panggung sandiwara, makanya kesimpulan yang diambil
hanya berdasarkan mitos, doktrin, ataupun lainnya.72 Jika seandainya keempat
idola ini dapat dihindari oleh seorang peneliti, maka kasimpulan yang
dihasilkan dapat dikategorikan sebagai sebuah hasil yang valid.
Seperti halnya hal yang lain, Pengambilan
kesimpulan secara induktif juga tidak luput dari kekeliruan. Ia juga tidak bisa
menghindari adanya error seperti adanya ketidak telitian dalam
pengamatan. Yang dipengaruhi banyak faktor, sebut saja alat atau panca indra
yang tidak sempurna. Hal yang sama juga terjadi pada statistika, ia notabennya
bertujuan memperingan kerja penggiat penalaran induktif dengan metode
pengambilan samplenya, namun akhirnya kesadaran statistika yang menganggap
kebenaran absolut tidak mungkin dapat dicapai walaupun ada kemungkinan bahwa
kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan dapat dicapai, telah membawa
manusia kedalam suatu sikap relativis.
Terlepas dari itu semua, kegiatan
ilmiah mutlak memerlukan sebuah pengujian atas hipotesis yang ada. Pengujian
ini dilakukan dengan melihat pada fakta ilmiah yang ada. Maka disinilah
diperlukan sebuah metode induktif. Umpamanya, untuk menguji hipotesis bahwa
“Mahasiswa pascasarjana semester 2 ISID lebih antusias pada mata kuliah
filsafat ilmu, dari pada statistika” diperlukan pengumpulan fakta-fakta yang
mendukung hipotesis tersebut. Yaitu dengan mengadakan wawancara kepada seluruh
ataupun sebagian mahasiswa tersebut, sebagai representif dan obyektif dari
keseluruhan populasi mereka.
Penalaran ini diadobsi oleh banyak penggiatnya,
karena ia dipandang dapat memberikan ilustrasi-ilustrasi tentang ragam
pengetahuan yang akan dituju. Sehingga lebih mudah menemukan pola-pola tertentu
suatu ilustrasi yang ada. Ia juga dinilai efektif untuk memicu keterlibatan
yang lebih mendalam dalam suatu proses pencapaian kesimpulan. Sebabnya tiada
lain adalah adanya kasus awal yang tepat. Adapun kelemahan dari proses ini
antara lain, Penalaran induktif, sesuai dengan sifatnya, yaitu tidak memberikan
jaminan bagi kebenaran kesimpulannya. Meskipun, premis-premisnya semua benar,
tidak otomatis membawa kebenaran pada kesimpulan yang diperoleh, selalu saja
ada kemungkinan terdapat sesuatu yang tidak sama sebagaimana di amati. Serta
pada induksi, kesimpulannya bukan merupakan suatu konsekuensi logis dari
premis-premisnya. Sehingga pada suatu penalaran yang baik, kesimpulan tidak
dapat menjadi benar 100% manakala premis-premisnya benar. Atau dengan kata lain
kelengkapan kesimpulannya hanya dapat menjadi bersifat tidak lebih dari
“mungkin benar” manakala kesemua premis-premisnya benar. Sehingga kesimpulan
penalaran induktif tidak 100 % pasti. Selain itu besarnya ada kemungkinan
ketidaktelitian di dalam pengamatan atau human error, yang dipengaruhi
banyak faktor, sebut saja fasilitas ataupun panca indra yang tidaksempurna.
Maka di sini perlunya ketersediaan tenaga pembimbing yang terampil. Serta model
ini sangat bergantung pada kondisi lingkungan yang diamati, dengan kata lain perlunya
sebuah kondisi yang benar-benar kondusif dalam proses observasi, serta
penyimpulannya. Serta waktu yang dibutuhkan cenderung lebih lama dari pada
model deduktif, serta persiapan menuju proses ini terkesan lebih banyak karena
harus siap menghadapi kondisi seperti apapun.
Baik penalaran induktif ataupun
deduktif kesemuanya memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Yang
mana keduanya telah ikut memberikan corak cara berfikir ilmiah modern saat ini.
Jika berpijak pada induktif semata maka ilmu pengetahuan akan berada dalam
suatu “kegelapan ilmiah” begitu pula jika hanya pada deduktif belaka maka ia
tidak akan maju. Maka dari itu dengan berkaca pada aspek positif dan negatif
dari keduanya, orang kemudian mencoba mengkolaborasikan, memodifikasi, dan
mengembangkan keduanya menjadi sebuah sistem penalaran ilmiah modern saat ini (scientific
method), atau dalam istilah John Dewey dikenal dengan berpikir reflektif
(reflective thinking). Dan yang oleh Anderson dirumuskanlah langkah-langkah
metode ilmiah tersebut, yang meliputi: 1) Perumusan masalah. 2) Penyusunan
hipotesis. 3) Melakukan eksperimen/pengujian hipotesis. 4) Pengumpulan dan
pengolahan data. 5) pengambilan kesimpulan. Artinya, lahirlah ilmu yang
memiliki kerangka penjelasan yang masuk serta mencerminkan kenyataan yang
sebenarnya.
#deduktif
#induktif
Komentar
Posting Komentar