BACA JUGA

Pertalite Ron 86 penyebab mesin ambrol !

  Pertalite Ron 86 penyebab mesin ambrol ! Konsekuensi pertama yang harus dirasakan saat menggunakan Pertalite dengan Ron 86 adalah keborosan, ini jangka pendek jangka panjangnya ambrol tu mesin kamu hahaha.. Kenapa hal itu bisa terjadi? kalian perlu ketahui dahulu apa itu manfaat Ron atau Research Octan Number pada pembakaran mesin. Ron 86 merupakan bagian dari bilangan oktan, bilangan octan sendiri merupakan angka yang menunjukkan seberapa besar tekanan yang bisa diberikan sebelum bensin terbakar secara spontan. Pada pembakararn di dalam mesin, campuran udara dan bensin mendapatkan tekanan akibat kinerja dari piston sampai dengan volume yang sangat kecil, yang kemudian dibakar oleh percikan api yang dihasilkan busi. Ron yang biasa digunakan antara lain, 87, 88, 89, 90, 91 dan bahkan ada yang lebih juga. Research Octane Number ? Bilangan oktan bisa ditingkatkan dengan menambahkan zat aditif bensin. Penambahan  tetraetil timbal  (tetraethyl lead atau TEL, Pb(C2H5)4) pada bensin a

Penalaran Deduktif (Rasionalisme/Logika Minor)

 Penalaran Deduktif (Rasionalisme/Logika Minor)

 

Jendela Dunia

Penalaran Deduktif adalah suatu kerangka atau cara berfikir yang bertolak dari sebuah asumsi atau pernyataan yang bersifat umum untuk mencapai sebuah kesimpulan yang bermakna lebih khusus. Ia sering pula diartikan dengan istilah logika minor, dikarenakan memperdalami dasar-dasar pensesuaian dalam pemikiran dengan hukum, rumus dan patokan-patokan tertentu.58 Pola penarikan kesimpulan dalam metode deduktif merujuk pada pola berfikir yang disebut silogisme. Yaitu bermula dari dua pernyataan atau lebih dengan sebuah kesimpulan. Yang mana kedua pernyataan tersebut sering disebut sebagai premis minor dan premis mayor. Serta selalu diikuti oleh penyimpulan yang diperoleh melalui penalaran dari kedua premis tersebut. Namun kesimpulan di sini hanya bernilai benar jika kedua premis dan cara yang digunakan juga benar, serta hasilnya juga menunjukkan koherensi data tersebut.59 Contoh dari penggunaan premis dalam deduksi: Premis Mayor: Perbuatan yang merugikan orang lain adalah dosa. Premis Minor: Menipu merugikan orang lain. Kesimpulan: Menipu adalah dosa. Selain itu, matematika sebagai salah satu disiplin keilmuanyang yang menerapkan prinsip koherensi di dalam pembuktian kebenarannya.

 

Penalaran deduktif merupakan salah satu cara berfikir logis dan analistik, yang tumbuh dan berkembang dengan adanya pengamatan yang semakin intens, sistematis, dan kritis. Juga didukung oleh pertambahan pengetahuan yang diperoleh manusia, yang akhirnya akan bermuara pada suatu usaha untuk menjawab permasalahan secara rasional sehingga dapat dipertanggung jawabkan kandungannya, tentunya dengan mengesampingkan hal-hal yang irasional. Adapun penyelesaian masalah secara rasional bermakna adanya tumpuan pada rasio manusia dalam usaha memperoleh pengetahuan yang benar. Dan paham yang mendasarkan dirinya pada proses tersebut dikenal dengan istilah paham rasionalisme. Metode deduktif dan paham ini saling memiliki keterikatan yang saling mewarnai, karena dalam menyusun logika suatu pengetahuan para ilmuan rasionalis cenderung menggunakan penalaran deduktif.

 

Lebih jauh lagi deduksi sering lahir dari sebuah persangkaan mayoritas orang. Sehingga hampir bisa dikatakan bahwa setiap keputusan adalah deduksi, Dan setiap deduksi diambil dari suatu generalisasi yang berupa generalisasi induktif yang berdasar hal-hal khusus yang diamati. Generalisasi ini terjadi karena adanya kesalahan dalam penafsiran terhadap bukti yang ada. Generalisasi induktif sering terjadi dari banyaknya tumpuan pada pengamatan terhadap hal-hal khusus yang kenyataanya tidak demikian. seperti halnya kesalahan dokter dalam mendiagnosis penyakit pasien, hal ini terjadi karena tanda-tandanya sama namun bisa jadi ada penyakit lain dengan tanda-tanda seperti itu, ataupun kasus polisi yang menyelidiki barang bukti di tempat tindakan kriminal.

Ada beberapa teori yang sering dikaitkan dengan penalaran deduktif. Di antaranya “teori koherensi”, serta “teori kebenaran pragmatis.” Hal yang disebut terakhir merupakan sebuah proses pembuktian secara empiris dalam bentuk pengumpulan fakta-fakta real yang mendukung semua pernyataan sebelumnya. Adapun pencetus teori ini adalah Charles S. Pierce dalam sebuah makalah dengan judul “how to make our ideas clear?” yang terbit pada tahun 1878. Bagi seorang penggiat pragmatisme, kebenaran suatu pernyataan diukur dengan ada tidaknya fungsional hal tersebut dalam kehidupan praktis. Dengan kata lain, sebuah pernyataan bernilai benar jika berkonsekuensi dengan adanya kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.61 Sehingga penalaran deduktif juga sering diartikan sebagai sebuah metode eksperimen.

Kelebihan model ini adalah terletak pada faktor kebutuhan fokus yang intens dalam menganalisa suatu pengertian dari segi materinya, sehingga penggunaan waktu bisa lebih efisien. Bahkan dari segi lain keterampilan yang digunakan bisa tersusun lebih rapi, hal ini bisa terjadi karena poin-poin yang ingin dicapai sudah jelas. Terlebih pendekatan ini sesuai untuk digunakan dalam proses pembelajaran, seperti halnya guru memberikan penerangan sebelum memulai pembelajaran. Selain itu pada deduksi, kesimpulannya merupakan suatu konsekuensi logis dari premis-premisnya. Sehingga pada suatu penalaran yang baik, kesimpulan dapat menjadi benar manakala premis-premisnya benar. Adapun kelemahannya terletak pada aktifitas penarikan kesimpulan yang dibatasi pada ruang lingkup tertentu. Serta jika salah satu dari kedua premisnya, atau bahkan keduanya salah maka kesimpulan yang didapat berdasarkan premis tersebut akan salah pula. Kelemahan lainnya adalah kesimpulan yang diambil berdasarkan logika deduktif tak mungkin lebih luas dari premis awalnya, sehingga sulit diperoleh kemajuan ilmu pengetahuan jika hanya mengandalkan logika deduktif. Selain itu manakala argumennya diuji kebenarannya, maka yang mungkin teruji hanya bentuk atau pola penalarannya tapi bukan materi premisnya, jadi benar salahnya premis tersebut tidak dapat diuji.

 

Penalaran Induktif (Empirisme/Logika Mayor)

 

Penalaran induktif adalah cara berfikir untuk menarik kesimpulan dari pengamatan terhadap hal yang bersifat partikular kedalam gejala-gejala yang bersifat umum atau universal. Sehingga dapat dikatakan bahwa penalaran ini bertolak dari kenyataan yang bersifat terbatas dan khusus lalu diakhiri dengan statemen yang bersifat komplek dan umum.62 Generalisasi adalah salah satu ciri yang paling khas dalam metode induksi. Hanya saja, generalisasi di sini tidak berarti dengan mudahnya suatu proposisi yang diangkat dari suatu individu dibawa untuk digeneralisasikan terhadap suatu komunitas yang lebih luas. Justru, melalui metode ini, diberikan suatu kemungkinan untuk disimpulkan. Dalam artian, bahwa ada kemungkinan kesimpulan itu benar tapi tidak berarti bahwa itu pasti benar, sehingga akhirnya disinilah lahir probabilitas.

Penalaran model ini dipublikasikan secara massive oleh Francis Bacon (1561-1626), Bacon yang merasa tidak puas dengan penalaran deduktif, merasa kecewa kenapa, misalnya masalah jumlah gigi kuda saja harus berdebat habis-habisan, bukannya dengan menggunakan logika induktif pemecahannya sangat mudah? buka saja mulut-mulut kuda lalu dihitung jumlah giginya. Dalam satu sisi, walaupun Bacon dianggap sebagai pencetus penalaran ini namun pada hakekatnya telah berhutang budi pada sarjana muslim yang telah mengenalkan metode ini, dalam kurun waktu antara abad 9-12 masehi. H.G. Wells menyimpulkan bahwa semangat pencarian kebenaran ini dimulai oleh para pemikir Yunani, dan kembali dikobarkan oleh pemikir Muslim. Sehingga estafet penalaran ini dimulai dari pemikir Yunani, disesuaikan oleh Muslim, dan ditiru oleh Bacon. Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, induksi merupakan sebuah cara berfikir yang memiliki andil besar dalam perkembangan peradaban manusia. Maka dari itu setiap pola berfikir memiliki identitasnya masing-masing.

 

Ciri khas dari penalaran induktif adalah generalisasi. Generalisasi dapat dilakukan dengan dua metode yang berbeda. Pertama, yang dikenal dengan istilah induksi lengkap, yaitu generalisasi yang dilakukan dengan diawali hal-hal partikular yang mencakup keseluruhan jumlah dari suatu peristiwa yang diteliti. Seperti dalam kasus: penelitian bahwa di depan setiap rumah di desa ada pohon kelapa, kemudian digeneralisasikan dengan pernyataan umum “setiap rumah di desa memiliki pohon kelapa.” Maka generalisasi macam ini tidak bisa diperdebatkan dan tidak pula ragukan.

 

Kedua, yang dilakukan dengan hanya sebagian hal partikular, atau bahkan dengan hanya sebuah hal khusus. Poin kedua inilah yang biasa disebut dengan induksi tidak lengkap. Dalam penalaran induksi atau penelitian ilmiah sering kali tidak memungkinkan menerapkan induksi lengkap, oleh karena itu yang lazim digunakan adalah induksi tidak lengkap. Induksi lengkap dicapai manakala seluruh kejadian atau premis awalnya telah diteliti dan diamati secara mendalam. Namun jika tidak semua premis itu diamati dengan teliti, atau ada yang terlewatkan dan terlanjur sudah diambil suatu kesimpulan umum, maka diperolehlah induksi tidak lengkap. Bahkan manakala seseorang seusai mengamati hal-hal partikular kemudian mengeneralisasikannya, maka sadar atau tidak, ia telah menggunakan induksi. Generalisasi di sini mungkin benar mungkin pula salah, namun yang lebih perlu dicermati adalah agar tidak terjadi sebuah kecerobohan generalisasi. Misalnya “sarjana luar negeri lebih berkualitas daripada sarjana dalam negeri.” Jenis induksi tidak lengkap inilah yang sering kita dapati. Alasanya sederhana, keterbatasan manusia.

 

Induksi sering pula diartikan dengan istilah logika mayor, karena membahas pensesuaian pemikiran dengan dunia empiris, ia menguji hasil usaha logika formal (deduktif), dengan membandingkannya dengan kenyataan empiris. Sehingga penganut paham empirme yang lebih sering mengembangkan pengetahuan bertolak dari pengalaman konkrit. Yang akhirnya mereka beranggapan satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang diperoleh langsung dari pengalaman nyata. Dengan demikian secara tidak langsung penggiat aliran inilah yang sering menggunakan penalaran induktif. Karena Penalaran ini lebih banyak berpijak pada observasi indrawi atau empiris. Dengan kata lain penalaran induktif adalah proses penarikan kesimpulan dari kasus-kasus yang bersifat individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Inilah alasan atas eratnya ikatan antara logika induktif dengan istilah generalisasi, serta empirisme.

 

Penarikan kesimpulan secara induktif menghadapkan kita kepada suatu dilema tersendiri, yaitu banyaknya kasus yang harus diamati sampai mengerucut pada suatu kesimpulan yang general. Sebagai contohnya jika kita ingin mengetahui berapa rata-rata tinggi badan anak umur 9 tahun di Indonesia tentu cara paling logis adalah dengan mengukur tinggi seluruh anak umur 9 tahun di Indonesia. Proses tersebut tentu akan memberikan kesimpulan yang dapat dipertanggung jawabkan namun pelaksanaan dari proses ini sendiri sudah menjadi dilema yang tidak mudah untuk ditanggulangi.

Di samping itu, guna menghindari kesalahan yang disebabkan karena generalisasi yang terburu, Bacon menawarkan empat macam idola atau godaan dalam berfikir: Pertama, idola tribus, yaitu menarik kesimpulan, tanpa dasar yang cukup. Artinya, kesimpulan diperoleh darik pengamatan yang kurang mendalam, dan memadai, sehingga ia diambil dari penelitian yang masih dangkal. Kedua, idola spesus, yakni, kesimpulan yang dihasilkan bukan berdasarkan pengamatan yang cukup, namun lebih sebagai hasil dari prasangka belaka. Ketiga, idola fori, poin ketiga ini cukup menarik, karena kesimpulan lahir hanya sebatas mengikuti anggapan ataupun opini public secara umum. Dan terakhir, idola theari, anggapan bahwa dunia ini hanyalah sebatas panggung sandiwara, makanya kesimpulan yang diambil hanya berdasarkan mitos, doktrin, ataupun lainnya.72 Jika seandainya keempat idola ini dapat dihindari oleh seorang peneliti, maka kasimpulan yang dihasilkan dapat dikategorikan sebagai sebuah hasil yang valid.

 

Seperti halnya hal yang lain, Pengambilan kesimpulan secara induktif juga tidak luput dari kekeliruan. Ia juga tidak bisa menghindari adanya error seperti adanya ketidak telitian dalam pengamatan. Yang dipengaruhi banyak faktor, sebut saja alat atau panca indra yang tidak sempurna. Hal yang sama juga terjadi pada statistika, ia notabennya bertujuan memperingan kerja penggiat penalaran induktif dengan metode pengambilan samplenya, namun akhirnya kesadaran statistika yang menganggap kebenaran absolut tidak mungkin dapat dicapai walaupun ada kemungkinan bahwa kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan dapat dicapai, telah membawa manusia kedalam suatu sikap relativis.

 

Terlepas dari itu semua, kegiatan ilmiah mutlak memerlukan sebuah pengujian atas hipotesis yang ada. Pengujian ini dilakukan dengan melihat pada fakta ilmiah yang ada. Maka disinilah diperlukan sebuah metode induktif. Umpamanya, untuk menguji hipotesis bahwa “Mahasiswa pascasarjana semester 2 ISID lebih antusias pada mata kuliah filsafat ilmu, dari pada statistika” diperlukan pengumpulan fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut. Yaitu dengan mengadakan wawancara kepada seluruh ataupun sebagian mahasiswa tersebut, sebagai representif dan obyektif dari keseluruhan populasi mereka.

Penalaran ini diadobsi oleh banyak penggiatnya, karena ia dipandang dapat memberikan ilustrasi-ilustrasi tentang ragam pengetahuan yang akan dituju. Sehingga lebih mudah menemukan pola-pola tertentu suatu ilustrasi yang ada. Ia juga dinilai efektif untuk memicu keterlibatan yang lebih mendalam dalam suatu proses pencapaian kesimpulan. Sebabnya tiada lain adalah adanya kasus awal yang tepat. Adapun kelemahan dari proses ini antara lain, Penalaran induktif, sesuai dengan sifatnya, yaitu tidak memberikan jaminan bagi kebenaran kesimpulannya. Meskipun, premis-premisnya semua benar, tidak otomatis membawa kebenaran pada kesimpulan yang diperoleh, selalu saja ada kemungkinan terdapat sesuatu yang tidak sama sebagaimana di amati. Serta pada induksi, kesimpulannya bukan merupakan suatu konsekuensi logis dari premis-premisnya. Sehingga pada suatu penalaran yang baik, kesimpulan tidak dapat menjadi benar 100% manakala premis-premisnya benar. Atau dengan kata lain kelengkapan kesimpulannya hanya dapat menjadi bersifat tidak lebih dari “mungkin benar” manakala kesemua premis-premisnya benar. Sehingga kesimpulan penalaran induktif tidak 100 % pasti. Selain itu besarnya ada kemungkinan ketidaktelitian di dalam pengamatan atau human error, yang dipengaruhi banyak faktor, sebut saja fasilitas ataupun panca indra yang tidaksempurna. Maka di sini perlunya ketersediaan tenaga pembimbing yang terampil. Serta model ini sangat bergantung pada kondisi lingkungan yang diamati, dengan kata lain perlunya sebuah kondisi yang benar-benar kondusif dalam proses observasi, serta penyimpulannya. Serta waktu yang dibutuhkan cenderung lebih lama dari pada model deduktif, serta persiapan menuju proses ini terkesan lebih banyak karena harus siap menghadapi kondisi seperti apapun.

 

Baik penalaran induktif ataupun deduktif kesemuanya memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Yang mana keduanya telah ikut memberikan corak cara berfikir ilmiah modern saat ini. Jika berpijak pada induktif semata maka ilmu pengetahuan akan berada dalam suatu “kegelapan ilmiah” begitu pula jika hanya pada deduktif belaka maka ia tidak akan maju. Maka dari itu dengan berkaca pada aspek positif dan negatif dari keduanya, orang kemudian mencoba mengkolaborasikan, memodifikasi, dan mengembangkan keduanya menjadi sebuah sistem penalaran ilmiah modern saat ini (scientific method), atau dalam istilah John Dewey dikenal dengan berpikir reflektif (reflective thinking). Dan yang oleh Anderson dirumuskanlah langkah-langkah metode ilmiah tersebut, yang meliputi: 1) Perumusan masalah. 2) Penyusunan hipotesis. 3) Melakukan eksperimen/pengujian hipotesis. 4) Pengumpulan dan pengolahan data. 5) pengambilan kesimpulan. Artinya, lahirlah ilmu yang memiliki kerangka penjelasan yang masuk serta mencerminkan kenyataan yang sebenarnya.


#deduktif
#induktif

Komentar